transformasi kelembagaan Bulog untuk mencapai swasembada pangan
Kantor Pusat Perum Bulog di Jakarta. Sumber: facebook.com/bulogperum.

AGRIKAN.ID – Pemerintah telah memutuskan untuk melakukan transformasi kelembagaan Perum Bulog, yang selama ini di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menjadi badan otonom yang langsung di bawah Presiden Prabowo Subianto, untuk mencapai swasembada pangan.

“Kita ingin Bulog itu betul-betul kuat, tapi juga bisa jalan. Semua ini dalam rangka untuk mencapai program prioritas Bapak Presiden. Kita harus swasembada pangan,” kata Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, sebagaimana tayang di badanpangan.go.id, Jumat, 29 Nopember 2024.

Hal itu disampaikan Zulkifli dalam konferensi pers bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy di Kantor Pusat Perum Bulog seusai Rapat Koordinasi Terbatas tentang Transformasi Kelembagaan Bulog di Jakarta.

Lihat juga: Fase pertumbuhan tanaman padi

Dengan transformasi tersebut, menurut Rachmat, akan memperkuat fungsi dan peran Bulog sebagai regulator dan produsen pangan. “Jika swasembada tercapai, kita punya senjata sebagai strategi pengamanan dan pertahanan. Namun dibutuhkan cara baru untuk melihat perspektif ini,” katanya.

Perubahan kelembagaan tersebut, menurut Zulkifli, akan mengurangi beban finansial Bulog yang selama ini bersumber dari mekanisme komersial seperti pembayaran utang pokok dan bunganya.

Dengan perubahan, bisa memberikan fleksibilitas bagi Bulog untuk menjalankan fungsi utamanya dalam stabilisasi harga dan ketahanan pangan. Ke depannya, tidak perlu lagi memperhitungkan profitabilitas. Bulog akan kembali menjadi lembaga nonkomersial untuk mencapai swasembada pangan.

Dalam rapat koordinasi tersebut terungkap bahwa utang Bulog sekitar Rp16 triliun. Bayangkan, berapa utang pokok dan beban bunga yang mesti dicicil. “Kalau komersial, bayar bunga, bayar pinjaman,” kata Zulkifli. Setelah berubah status, “(Bayar bunga dan pinjaman) nggak lagi,” katanya.

Lihat juga: Optimalisasi Indeks Pertanaman padi

Status Bulog ke depan, menurut Rini Widyantini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), bisa sebagai Lembaga Pemerintah Lain (LPL) atau Badan Hukum.

“Di setiap pilihan, terdapat kelebihan dan kekurangan, maka perlu diskusi dan pertimbangan yang lebih matang tentang status Bulog ke depan,” katanya, sebagaimana tayang di menpan.go.id.

Kisah petani tentang peran KUD era Presiden Soeharto

Kisah ini diangkat dari cerita Winarno Tohir, Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional empat periode, 2000 – 2020. Sejak kecil, pria kelahiran 5 Januari 1957 di Indramayu itu sudah mewakafkan dirinya untuk membantu menyejahterakan petani melalui organisasi petani.

Dulu, Koperasi Unit Desa (KUD) menjadi penengah antara petani (padi) dan Bulog. Sebab, Bulog hanya ingin membeli gabah dengan kadar air 14% atau dikenal dengan gabah kering giling (GKG).

Biasanya, petani menjual gabah kering panen (GKP) dengan kadar air 16%-25% ke KUD. Setelah menjadi GKG, KUD menjual gabah ke Bulog. Pedomannya menggunakan harga dasar (floor price).

Lihat juga: Profil petani Winarno Tohir

“Harga dasar itu jelas. Kalau (di lapangan) harga (gabah) di bawah harga dasar, pemerintah (melalui Bulog) wajib membeli. Kalimatnya wajib membeli,” kata Winarno. Dengan begitu, petani mempunyai kepastian pasar. “(Pasarnya) pasti, harganya juga pasti. Dulu harga dasar namanya,” jelas Winarno.

KUD memang mempunyai peran penting. Selain membeli gabah petani, KUD juga menyalurkan KUT (Kredit Usaha Tani) untuk modal kerja petani. Jika petani membutuhkan uang tunai, misalnya untuk biaya sekolah putra-putrinyanya, KUD menyalurkan KCK (Kredit Canda Kulak). Petani membayar kewajibannya dengan gabah. Jika petani membutuhkan pupuk, KUD juga yang menyalurkannya.

“Dulu saya sering mengatakan, bahasa gampangnya, petani zaman dulu (era Presiden Soeharto) enak. Bangun tidur, mau apa ke KUD. Perlu duit (KCK), datang ke KUD. Mau perlu pupuk, tinggal ke KUD. Mau KUT, datang ke KUD. Mau jual gabah ke KUD. Semuanya serba KUD,” cerita Winarno.

Tetapi, setelah Indonesia menjadi pasien IMF (International Monetary Fund) karena krisis moneter 1998, hampir semua instrumen di atas pudar. “Semuanya itu, sekarang tinggal kenangan,” katanya.

Kebijakan harga dasar berubah menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Apalagi Bulog sudah berubah menjadi lembaga komersial. “(Dengan HPP), pemerintah hanya berkewajiban membeli sesuai kebutuhan. Di luar kebutuhan terserah. Harga (gabah) mau jatuh, ya jatuhlah,” katanya.

Transformasi kelembagaan Bulog untuk swasembada pangan

Kisah petani di atas disampaikan Winarno Tohir Januari 2020. Hampir satu tahun sebelum beliau wafat, 6 Februari 2021. Pada detik-detik terakhir, ia terus berjuang untuk kesejahteraan petani.

Menurut Prabowo Subianto, selama era Presiden Soeharto, Bulog sudah menjalankan operasi pengendalian harga pangan dengan baik. Bukan saja bisa menjaga kesejahteraan petani dengan mengendalikan harga gabah di tingkat petani, tetapi juga mengawal harga beras di masyarakat.

“Kalau harga (gabah) petani kurang baik, dikendalikan. Tetapi (harga beras) di konsumen dijaga. Tapi waktu itu kita menyerah kepada IMF,” kata Prabowo, dalam dialog masalah pangan dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Djakarta Theater, Jakarta, Jumat, 12 Januari 2024.

Dialog tersebut terjadi hampir sebulan sebelum Pemilihan Presiden, Rabu, 14 Februari 2024.

Sebagaimana kita ketahui, pada 15 Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani dokumen Letter of Intent (LoI) bersama IMF. Secara garis besar, paket pemulihan ekonomi Indonesia ala IMF itu meliputi tiga kebijakan, yaitu pengetatan moneter, pembenahan bank, dan pengetatan fiskal.

Lihat juga: Elektrifikasi pertanian bisa sejahterakan petani

Tentu kebijakan tersebut juga berdampak pada sektor pangan. Misalnya, IMF menekan pemerintah Indonesia tidak lagi menggunakan instrumen kebijakan harga dasar dan mengubah status Bulog.

Sejak 20 Januari 2003, Bulog resmi berubah dari Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2003. Dengan demikian, Bulog menjadi perusahaan dagang biasa, yang mengejar keuntungan.

Presiden Prabowo Subianto ingin mengembalikan Bulog menjadi lembaga nonkomersial, bukan lagi lembaga komersial. Prabowo ingin agar Bulog bisa mengendalikan harga gabah sehingga tetap bisa menjaga kesejahteraan petani, tetapi juga tetap menjaga harga pangan (beras) di tingkat konsumen.

Transformasi kelembagaan Bulog dari berstatus BUMN menjadi lembaga otonom yang langsung di bawah Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi harapan baru bagi petani. Bagi petani, mencapai swasembada pangan itu tidak sulit, asalkan ada kepastian pasar gabah dengan harga yang menarik.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com

Referensi:

  1. https://www.bulog.co.id/jejak-langkah-perusahaan/.
  2. Riset informasi dari website bulog.co.id, menpan.go.id, cnnindonesia.com, rri.co.id, badanpangan.go.id, cnbcindonesia.com, finance.detik.com, dan id.wikipedia.org.
  3. Sofyan Noor, Y. dkk. 2021. Biografi Ir. H. Winarno Tohir: Semangat Pengabdian Mewujudkan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).
  4. Tohir, W. 2019. Pertanian Presisi untuk Mensejahterkan Petani. Jakarta: Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).
  5. Hikam, M. AS. (editor). 2014. Memperkuat Ketahanan Pangan Demi Masa Depan Indonesia 2015-2025. Jakarta: CV Rumah Buku.

Lihat Ebook: Panduan Praktis Menulis Artikel