AGRIKAN.ID – Dia dikenal senang guyon dan ceplas-ceplos.
Waktu tidak terasa cepat bergulir saat berbincang dengannya.
Perjalanan hidup tokoh perunggasan nasional ini pun unik serta sarat hikmah.
Bagaimana Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menyikapi dunia perunggasan hingga kehidupan yang selalu berubah?
Tuhan lebih tahu yang terbaik untuk kita
Menjadi mahasiswa jurusan peternakan bukanlah mimpi Dawami, sapaan akrabnya. Selepas SMA, pria kelahiran 24 April 1956 itu ingin belajar arsitektur atau teknik sipil di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Selain arsitektur dan teknik sipil, Abdul Latif, sang kakak berinisiatif mendaftarkannya juga ke bidang peternakan. Saat itu memang tersedia tiga pilihan jurusan yang harus diisi setiap calon peserta didik UGM.
Hasil seleksi pun diumumkan. Dawami diterima sebagai mahasiswa peternakan, bukan arsitektur atau teknik sipil.
Pada 1974 pria keturunan Surabaya, Jatim, dan Solo, Jateng, ini mengaku tidak menikmati awal perkuliahan sebagai mahasiswa peternakan. Ia juga sempat minder.
Fakultas Peternakan UGM yang tergolong baru itu kerap diejek fakultas lain. “Kalau kita lagi lari main sepak bola mesti mereka teriak embek-embek, petok-petok gitu lho karena kita peternakan,” katanya sembari tertawa.
Pada semester I, pria yang jago beladiri ini pun kerap berkelahi dengan mahasiswa yang mengejek fakultasnya.
Kesuksesan ditentukan oleh kebiasaan dan sikap
Ia pernah mengutarakan untuk pindah jurusan tapi ditolak sang ayah. Menurut Mansur Burhan, ayahnya, universitas tempat melatih diri untuk berkomunikasi, bersosialisasi, dan menggabungkan ilmu serta logika menjadi satu-kesatuan utuh.
“Kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh kebiasaan dan sikap di masyarakat,” saran ayah.
Setelah memikirkan petuah itu, Dawami fokus menyelesaikan kuliah secepatnya.
Ia mengisi waktu dengan mengikuti organisasi fakultas dan olah raga, seperti baseball dan karate.
“Kalau itu sudah menjadi keputusan, ya kita harus fokus. Kita harus mencintai peternakan,” katanya.
Manusia punya rencana.
Namun,
Mencintai dan mendalami dunia perunggasan
Lulus kuliah, Dawami bekerja sebagai sales di Cipendawa, perusahaan peternakan milik Probosutedjo di Jakarta. “Di situlah asal-muasalnya saya terjun di dunia peternakan. Dari situ saya menjual parent stock ke perusahaan di Surabaya,” bukanya.
Saat pulang ke kampung halaman, ia meneruskan bekerja di Wisma Farm, pembibitan ayam di Surabaya.
Pada 1984 ayah dua anak itu bergabung dengan Japfa Comfeed Indonesia hingga kini. “Mulai dari belum menikah sampai sekarang sudah punya cucu, itu saya syukuri. Perjalanan hidup yang tidak terasa,” sambung Head of Marketing Broiler Commercial Poultry Division PT Ciomas Adisatwa itu.
Ia kembali teringat pesan ayah akan pentingnya mencintai dan mendalami pekerjaan agar hidup enak serta bergaul dengan banyak orang.
“Peternakan itu semua orang pasti terkait karena semua orang pasti butuh makan. Jangan dikotak-kotak dengan disiplin ilmumu saja,” pesan sang ayah.
Ada bermacam ilmu di sektor peternakan, seperti matematika hingga fisika. Bahkan, kata Dawami, dunia peternakan menyukseskan dunia lain.
Pemerintah itu lokomotif pendongkrak konsumsi daging ayam
Tidak lupa, penggemar telur dan daging ayam ini menegaskan pentingnya meningkatkan konsumsi daging ayam dan melakukan promosi sistematis.
Pemerintah sangat berperan sebagai lokomotif pendongkrak konsumsi daging ayam nasional.
“Pernah dengar Menteri Kelautan dan Perikanan bilang, ‘Kalau tidak mau makan ikan, saya tenggelamkan!’ Kelihatannya bercanda tapi itu promosi,” ulasnya.
Ketika pemerintah bergerak, semua pihak mengikuti.
Menurut dia, konsumsi itu masalah utama di industri perunggasan. “Jangan sampai konsumsinya tidak meningkat, industrinya tumbuh. Maka, akan terjadi kanibalisme antarprodusen. Pasarnya tetap, tidak dirangsang naik,” kritiknya.
Ia menyarankan pemerintah menetapkan target konsumsi ayam dan telur serta mengevaluasinya. Berikutnya, kalkulasi mundur kebutuhan grand parent stock dan parent stock ayam hingga bahan baku pakan serta penyebarannya.
Prinsip fleksibel kecuali agama dan harga diri
Dalam keseharian, suami Ria Pribawanti ini mengaku menerapkan filosofi hidup orang tua yang menjadi idola.
Salah satu prinsip hidup ayah yang sangat melekat ialah orang harus punya prinsip fleksibel alias tidak kaku, kecuali menyangkut dua hal. “Satu adalah agama. Agama itu mutlak. Yang kedua harga diri. Harga diri pun harus tahu diri, jangan taruh harga dirimu setinggi langit,” jelas pria yang sangat mengidolakan ayahnya.
Dari ibu bernama Atikah, Dawami belajar ketekunan, kesabaran, dan cara berinteraksi. “Sama-sama berbicara kalau bisa jangan menyakitkan hati. Itu prinsip ibu saya,” sambungnya.
Lalu, kenali betul kawan bicara agar pesan yang disampaikan diterima dengan baik.
Ia juga menerapkan ajaran Ki Hadjar Dewantara: hidup itu niteni, niru, dan nambahi (mengamati, meniru, dan menambahkan).
Dawami mengaku serius ketika bicara bukan bermaksud guyon. Ia mencoba agar tidak bersikap merasa paling benar.
Manusia itu tempat salah dan dosa
“Saya punya pinsip ‘the boss is not always right but is still the boss’. Saya yakin bahwa bos itu tidak selalu benar. Dia manusia. Manusia tempatnya salah dan dosa.Tapi, dia bos. Kita harus hargai,” ulasnya.
Karena itu, seorang staf harus berani mengutarakan pendapat karena menjalaninya. Namun jika atasan sudah memutuskan, harus mengikuti dengan ikhlas dan semangat.
Sebaliknya,
Referensi:
Majalah Agrina Edisi 299, Mei 2019.