kebun sawit di kawasan hutan
Ilustrasi kebun sawit.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45 Tahun 2011 mengenai pengujian formil UU Kehutanan, sampai sekarang, secara kepastian hukum, belum ada kebun sawit di kawasan hutan.

Sebab, untuk memastikan kebun sawit di kawasan hutan harus melalui pengukuhan kawasan hutan.

Pengukuhan itu untuk memastikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan luas kawasan hutan.

Hal itu sejalan dengan amanat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 7 Tahun 2021.

Peraturan tersebut tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.

Permen LHK yang salah satunya merujuk UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu ditandatangani Menteri LHK Siti Nurbaya, Kamis, 1 April 2021.

Menurut Permen LHK No. 7 Tahun 2021, pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahap:

  1. Penunjukan kawasan hutan, yaitu penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.
  2. Penataan batas kawasan hutan, yaitu kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi, dan penyelesaian hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas.
  3. Pemetaan kawasan hutan, yaitu pemetaan hasil pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan tahapannya.
  4. Penetapan kawasan hutan, yaitu suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.

Penunjukan kebun sawit di kawasan hutan

Kementerian LHK telah menunjuk kebun sawit di kawasan hutan seluas 3.379.453 ha dengan perincian:

  • Kebun sawit di hutan konservasi (HK) 97.913 ha (2,90%).
  • Kebun sawit di hutan lindung (HL) 155.119 ha (4,59%).
  • Kebun sawit di hutan produksi tetap (HPTt) 501.572 ha (14,84%).
  • Kebun sawit di hutan produksi terbatas (HPTb) 1.497.421 ha (44,31%).
  • Kebun sawit di hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 1.127.428 ha (33,36%).

Data tersebut dipilah dan dipaparkan Gulat M.E Manurung, Ketua Umum Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), pada webinar Rabu, 22 Desember 2021.

Webinar itu dilaksanakan Majalah Agrina dan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).

Dari 3.379.453 ha itu, kebun sawit petani sekitar 2.635.973 ha (78,00%) dan pengusaha 743.480 ha (22,00%).

“Kenapa petani lebih luas? Karena kami nggak ngerti, mana kawasan (hutan), tidak kawasan (hutan). Bertahun-tahun, bahkan kebun nenek moyang kami di situ,” kata Gulat.

Menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 833 Tahun 2019, luas tutupan kebun sawit di Indonesia sekitar 16.381.959 ha.

Dengan demikian, kebun sawit yang ditunjuk Kementerian LHK di kawasan hutan sekitar 20,63% (dibulatkan 21%).

Tapi perlu diingat, berdasarkan Permen LHK No. 7 Tahun 2021, luas kebun sawit yang 3.379.453 ha itu baru penunjukan di kawasan hutan, belum penetapan. Kebun sawit itu baru diduga di kawasan hutan.

Jadi, sampai sekarang belum ada kepastian hukum apakah kebun sawit itu di kawasan hutan atau tidak.

Sebab, untuk memastikan kebun sawit tersebut di kawasan hutan atau tidak, masih perlu tiga tahap lagi

Yaitu tahap penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan.

Hal tersebut sejalan dengan amanat Putusan MK No. 45 Tahun 2011 terhadap pengujian formil UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004.

Dampak penunjukan kebun sawit di kawasan hutan bagi petani

Meskipun baru penunjukan di kawasan hutan, tetapi sudah banyak masalah yang dihadapi petani sawit.

  • Petani mendapat gugatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). “Setiap hari kami di pengadilan-pengadilan negeri digugat sama LSM-LSM lingkungan dengan alasan sawit di kawasan hutan. Kami udah bilang nggak ada masalah. Tetapi faktanya tetap menyuruh sawit kami dicabut. Aduh kacau ini,” kata Gulat.
  • Petani tidak bisa ikut ISPO (Indonesian Sutainable Palm Oil). “Persyaratan utama ISPO adalah legalitas. Bagaimana mungkin kami ikut ISPO kalau ini saja udah tertabrak,” kata Gulat.
  • Petani tidak bisa mendapatkan STD-B (Surat Tanda Daftar Budidaya). Padahal, “Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa STD-B itu tidak boleh dikawasan hutan,” kata Gulat.
  • Petani tidak bisa ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). “Ketika kami mau ikut PSR, nggak bisa, kawasan hutan katanya. Lo kenapa begini? Kesimpulannya tidak ada yang memperhatikan petani sawit selama ini. Tidak ada yang ngurusi, tidak ada yang mau tahu,” kata Gulat.
  • Petani tidak bisa mendapat program sarana dan prasarana (sarpras) Kementerian Pertanian. “Sarpras yang dirancang Kementerian Pertanian juga tidak boleh di kawasan hutan,” kata Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI.
  • Petani mendapat gangguan para oknum. “Para petani dikooptasi para oknum di daerah-daerah. Diperas dan segala macam. Ini kan nggak benar mengelola negara seperti ini,” kata Tungkot.

Padahal, secara kepastian hukum, belum ada penetapan kebun sawit di kawasan hutan. Tetapi para petani yang kebunnya diduga di kawasan hutan, diterpa banyak masalah.

“Ini nggak fair. Wajar kalau petani-petani sawit marah. Jangan biarkan mereka marah. Tugas kita mencari solusi supaya mereka bisa hidup lebih baik,” kata Tungkot.

“Kami di Papua butuh makan. Tidak butuh hutan. Kami tidak mau dihutankan. Tetapi kami cinta pelestarian lingkungan,” kata petani sawit di Papua seperti dikutip Gulat.

“Kami tidak pernah menyerah. Maju tak gentar. Mereka hanya tahu kualinya. Kami juga punya kuali,” kata Gulat.

Solusi kebun sawit yang ditunjuk di kawasan hutan

Sebagai kementerian yang berwenang, Kementerian LHK sudah menunjuk kebun sawit di kawasan hutan 3.379.453 ha.

Tetapi, sebagai kementerian yang membidangi kebun sawit, sebaiknya Kementerian Pertanian juga gencar membela petani dan pengusaha sawit sesuai regulasi.

“Pembelaan Kementerian Pertanian sebagai pihak yang membidangi komoditas (sawit) ini masih perlu ditingkatkan banyak sekali,” kata Agam Fatchurrochman, Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, pada webinar di atas.

Justru petani dan pengusaha sawit merasa pembelaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) jauh lebih terasa. “Pembelaan ATR/BPN lebih terasa,” kata Agam.

Salah satu cara menyelesaikan kebun sawit yang diduga di kawasan hutan ini, antara lain menggunakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021.

“Kementerian Pertanian pasti akan (membela). Untuk itu kami butuh data bapak ibu sekalian by name by address. Kami juga sudah kerjasamakan dengan KLHK dan ATR/BPN di bawah koordinasi Kementeri Koordinator Perekonomian dalam bentuk task force,” kata Mula Putera, pada webinar Desember itu.

Mula Putera merupakan Sub-Koordinator Pengembangan Kawasan Tanaman Kelapa Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.

“Menurut UU Cipta Kerja, kita hanya diberikan waktu 3 tahun untuk menyelesaikan sawit di kawasan hutan. Momen inilah yang coba kita manfaatkan, di samping perjuangkan dari berbagai hal,” kata Mula.

Secara organisasi, menurut Gulat, Apkasindo sudah mengirim surat ke pengurus Nahdlatul Ulama (NU) dan Wakil Presiden untuk meminta dukungan penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan.

“Karena ini masalah umat, masalah hidup masyarakat, masalah ekonomi. Tidak mungkin ini dibiarkan. Kita harus kerjasama,” kata Gulat.

Agar mempunyai kepastian hukum, petani dan pengusaha sawit sangat berharap pemerintah dapat menyelesaikan kebun sawit yang diduga di kawasan hutan ini dalam waktu cepat sesuai regulasi.

“Saya pikir yang bisa menyelesaikan hal ini (kebun sawit di kawasan hutan) hanya pemerintah,” kata Tungkot.

Perbaikan proses, bukan substansi UU Cipta Kerja

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21 Tahun 2020, yang diucapkan hakim konstitusi, Kamis, 25 Nopember 2021, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.

“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’,” ucap Anwar Usman, Ketua MK.

“Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” ucap Anwar, yang didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

Sesuai dengan Putusan MK tersebut, perbaikan UU Cipta Kerja paling lambat 25 Nopember 2023.

Jadi, UU Cipta Kerja tetap berlaku. “Putusan MK itu minimal banci. Semua aturan turunan tetap berlaku, lebih ekstrim meksipun lewat 25 Nopember 2023,” kata Bahrul Ilmi Yakup, Senin, 29 Nopember 2021.

“Yang diperintahkan MK perbaikan proses, bukan substansi,” tambah pakar Hukum Tata Negara itu.

“Dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja, maka seluruh materi dan substansi UU Cipta Kerja sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasalpun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Presiden Jokowi, Senin, 29 Nopember 2021.

Penyelesaian kebun sawit yang sudah ditunjuk di kawasan hutan itu, antara lain dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021, salah satu produk hukum turunan dari UU Cipta Kerja.

Jika merujuk PP tersebut, penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan paling lambat 2 Februari 2024.

Yaitu sekitar 26 hari sebelum Pemilihan Umum Tahun 2024 (Pemilihan Presiden dan Legislatif).

Selama ini, petani merasa penyelesaian legalitas kebun sawit jalan di tempat. Mereka berharap Presiden Jokowi turun tangan.

“Hanya Presiden (Jokowi) yang bisa menyelesaikan hal ini (kebun sawit di kawasan hutan),” kata Gulat.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com