Biaya produksi gula tebu di Indonesia termahal
Indeks biaya produksi gula tebu di delapan negara. Sumber: Diolah dari materi presentasi Bustanul Arifin, 2021.

Menurut indeks biaya produksi gula yang dikeluarkan International Trade Centre, 2020, biaya produksi gula tebu di Indonesia paling mahal di dunia.

Indeks biaya produksi gula tebu di Indonesia sekitar 192. Bandingkan dengan Brazil, yang mempunyai indeks biaya produksi gula tebu 100 atau paling murah di dunia.

Data tersebut AGRIKAN.ID kutip dari materi presentasi Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila).

Bahan presentasi tersebut dari webinar tebu yang diselenggarakan PT Riset Perkebunan Nusantara dan Universitas Brawijaya, Selasa, 28 September 2021.

Bandingkan dengan indeks biaya produksi gula di Thailand, yang 109. Dari total luas lahan tebu 2 juta ha, produktivitas 65,5 ton/ha, dan rendemen 10,70%, produksi gulanya tahun 2020 sekitar 14,02 juta ton.

(Ingin belanja Gulaku Gula Tebu Premium di Tokopedia, silakan klik: https://tokopedia.link/i7Loe5r4Jqb).

Thailand, salah satu negara anggota ASEAN, dapat memproduksi gula tebu dengan biaya paling murah kedua di dunia, setelah Brazil.

Negara anggota ASEAN lainnya, Filipina, mempunyai indeks biaya produksi gula tebu 130, berada pada urutan keenam.

Dengan biaya produksi gula paling mahal di dunia, membuat harga gula di Indonesia, menurut Sujarwo, dosen Universitas Brawijaya, pada webinar di atas, sekitar Rp11.900/kg (domestik Jawa Timur).

Bandingkan dengan harga gula internasional yang sekitar Rp6.200/kg. Jadi, harga gula berbasis tebu di Indonesia lebih mahal sekitar 92% dibandingkan harga gula internasional.

Kebutuhan gula rumah tangga dan industri

Pada tahun 2020, menurut Bustanul Arifin, konsumsi gula di Indonesia sekitar 5,97 juta ton.

Yaitu, kebutuhan konsumsi langsung (rumah tangga) sekitar 2,80 juta ton dan industri (makanan dan minuman) sekitar 3,17 juta ton.

Gula konsumsi langsung dari produksi domestik sekitar 2,12 juta ton dan impor sekitar 1,27 juta ton.

Impor gula konsumsi tersebut dalam bentuk raw sugar (gula kristal mentah, GKM) 0,81 juta ton dan gula kristal putih (GKP) 0,46 juta ton. Yang GKM diolah menjadi GKP.

Sementara gula industri dari gula kristal rafinasi (GKR) 100% impor. Impornya dalam bentuk GKM, yang kemudian diolah menjadi GKR oleh pabrik gula rafinasi.

Cara menekan biaya produksi gula tebu

Tetapi, menurut Soemitro Samadikun, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI), biaya produksi gula di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Brazil.

Di negara produsen gula terbesar nomor dua di dunia setelah India itu, menurut Soemitro, produksi gula di Brazil banyak menggunakan mekanisasi.

Di Indonesia, menurut Soemitro, biaya penanaman tebu, biaya pemanenan, biaya transportasi, biaya pemupukan, biaya pestisida, sewa tanah, dan sebagainya relatif mahal.

Dengan luas lahan tanaman tebu di Indonesia sekitar 418 ribu ha, untuk meningkatkan produksi, pemerintah mendorong melalui ekstensifikasi, yaitu menambah luas lahan tanam.

Padahal, menurut Soemitro, selain ekstensifikasi, dapat juga dilakukan melalui intensifikasi, misalnya meningkatkan produktivitas tebu dari sekitar 69 ton/ha/tahun menjadi sekitar 100 ton/ha/tahun.

Selain itu, meningkatkan rendemen (jumlah gula yang diekstraksi dari tebu) yang sekarang ini sekitar 7,7% menjadi sekitar 10%.

Pada tahun 1930, pada zaman Belanda, menurut Muhammad Abdul Ghani, Direktur Utama PTPN III, produktivitas tebu di Indonesia sekitar 169 ton/ha/tahun dan rendemen 11,32%.

Dengan menanam varietas tebu produktivitas minimal 100 ton/ha/tahun dan rendemen sekitar 10%, Indonesia dapat meningkatkan produksi gula tebu dan menurunkan biaya produksi gula.

Sebagai informasi, sekitar 58% pasokan tebu nasional dari petani. Dengan intensifikasi dapat meningkatkan kesejahteraan petani mitra tebu.

Tetapi, menurut Bustanul Arifin, modernisasi industri gula tebu tidak cukup di industri hulu dan usaha tani, tetapi juga di hilir.

Di usaha tani, menurut Bustanil, produksi tebu tidak efisien, produktivitas tebu rendah, dan persaingan lahan tebu dengan tanaman pangan lainnya.

Di hilir, katanya, sebagian besar pabrik gula di Jawa sudah tua, proses produksi tidak efisien, teknologi ketinggalan zaman, rendemen gula rendah, dan sebagainya.

Dengan memodernisasi di hulu, usaha tani, menyejahterakan petani mitra, dan memodernisasi di hilir, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan menurunkan biaya produksi gula tebu di Indonesia.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com