penerapan ekosistem halal pada industri sawit
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit

AGRIKAN.ID – Pada konsep ekosistem halal, parameter halal haram sebagai dasar filosofisnya dan thayyib teknisnya. Thayyib ini memberikan jaminan kebersihan, keamanan, dan kualitas produk.

Produk, menurut UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Halal merupakan segala sesuatu yang dibolehkan Syariat Islam, sedangkan haram sebaliknya, yaitu segala sesuatu yang tidak diizinkan Syariat Islam. Karena itulah, halal biasa didefinisikan sebagai kemampuan untuk membedakan produk halal dan haram berdasarkan Hukum Islam.

Produk berlabel halal bukan hanya untuk segmentasi muslim tetapi juga non-muslim. Mengapa? Sebab produk halal, misalnya makanan, yang dihasilkan perusahaan tidak hanya memberikan jaminan kualifikasi agama Islam, tetapi juga thayyib, yaitu yang baik dan sehat.

Peluang pasar industri halal

Industri halal merupakan himpunan perusahaan yang melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat produktif dengan mengolah bahan baku (barang atau jasa), yang input, proses, dan outputnya berpedoman pada Syariat Islam. Skala usahanya bisa mikro, kecil, menengah, atau besar.

Industri halal tidak hanya mencakup makanan dan minuman, tetapi juga busana, farmasi, kosmetik, pariwisata, keuangan, serta media dan rekreasi. Dengan penduduk muslim sekitar 241 juta jiwa atau sekitar 87% dari penduduk Indonesia yang 277,7 juta jiwa, peluang pasar industri halal sangat besar.

Pada Juli 2023, jumlah penduduk dunia sekitar 8,05 miliar jiwa. Dari jumlah itu, yang muslim sekitar 1,90 miliar atau 23,60 persen. Ini juga menjadi peluang ekspor produk halal Indonesia di luar negeri.

“Pengembangan ekonomi halal penting mengingat besarnya populasi muslim Indonesia sebagai pasar produk dan layanan halal,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan pidato kunci pada 7th Annual Islamic Finance Conference (AIFC) secara daring, Agustus 2023.

Berdasarkan Indonesia Halal Markets Report 2021/2022, ekonomi halal dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar US$5,1 miliar/tahun melalui peluang ekspor dan investasi.

Di tengah berbagai tantangan global, belanja produk halal populasi muslim dunia pada tahun 2021 sekitar US$2,00 triliun. Jumlah belanja itu meningkat sekitar 9% (year on year/yoy) dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2030, diperkirakan belanja produk halal dunia mencapai US$4,96 triliun.

Potensi produk halal juga datang dari nilai-nilai produk halal (aman, sehat, bersih, ramah lingkungan, dan berkualitas). Kini makin banyak konsumen mencari produk yang sesuai dengan gaya hidup halal.

Di samping potensi, ada juga tantangan. Misalnya masih terfragmentasinya tata kelola industri halal nasional termasuk aspek kelembagaan dan standardisasi sertifikasi halal yang relatif belum kuat.

Selain itu terdapat faktor keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dalam penerapan praktik produksi (manufaktur) produk halal dan masih terbatasnya pendanaan atau pembiayaan halal.

Tantangan-tantangan tersebut perlu diatasi untuk mengembangkan ekosistem halal nasional.

Ekonomi berkelanjutan dan ekosistem halal

Ekonomi berkelanjutan merupakan program yang menyeimbangkan ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk kemaslahatan manusia dan keberlangsungan bumi. Ekonomi berkelanjutan ini senada dengan SDGs (Sustainable Development Goals), yang mempunyai 17 poin pembangunan berkelanjutan.

Selama ini kita menganut filosofi ekonomi konvensional. Pertumbuhan ekonomi dipahami sebagai kemampuan negara meningkatkan kapasitas dalam memenuhi kebutuhan perekonomian rakyat dan negara. Orientasi pertumbuhan ekonomi ini pada produksi tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Padahal, etika terpenting dalam produksi adalah menjaga sumber daya alam, yang merupakan anugerah Allah SWT. Salah satu cara mensyukuri sumber daya alam adalah dengan menjaga kelestariannya dari polusi, kerusakan, dan kehancuran. Ini prinsip dasar ekonomi berkelanjutan.

Perusahaan yang berperan dalam meningkatkan produksi berupaya untuk meminimalisasi limbah dalam produksi, emisi karbon, serta polusi air dan udara karena mengutamakan kelestarian lingkungan. Selain itu, perusahaan juga peduli konservasi energi dan keanekaragaman hayati.

Dari segi sosial, perusahaan menerapkan inklusifitas, kesetaraan, dan keadilan bagi karyawan dan masyarakat sekitar. Membangun lingkungan kerja yang positif serta memfasilitasi dan menghargai hak karyawan dapat meningkatkan produktivitas, yang bisa membuat kinerja perusahaan lebih baik.

Dari segi tata kelola perusahaan, mengutamakan performa manajemen. Perusahaan menerapkan kode etik lebih baik, komposisi pemimpin lebih seimbang dan inklusif, serta manajemen lebih adil.

Di tengah maraknya isu ekonomi berkelanjutan, ramai juga isu ekosistem halal dengan parameter halal haram dan thayyib. Dengan memperhatikan prinsip halal dan thayyib diharapkan mampu memberikan konsep pertumbuhan ekonomi yang juga memadukan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Prinsip halal mendorong perlindungan sumber daya alam. Industri halal melindungi keanekaragaman hayati, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menggunakan sumber daya alam seefisien mungkin. Selain itu, prinsip halal juga mencakup etika dan tanggung jawab sosial dalam proses produksi.

Industri halal juga mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan meningkatnya jumlah konsumen yang mencari produk halal berpeluang mengembangkan rantai pasokan berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terlibat.

Penerapan ekosistem halal pada industri sawit

Industri sawit adalah himpunan perusahaan di bidang kelapa sawit. Kegiatannya mulai dari pembenihan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, sampai pendistribusian produk kepada konsumen di dalam dan luar negeri.

Produk yang dihasilkan dari industri sawit ini bisa pangan maupun non-pangan. Produk pangan antara lain minyak goreng, sedangkan produk non-pangan antara lain kosmetik dan biodiesel.

Luas lahan sawit di Indonesia sekitar 16,38 juta hektar pada 2019. Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekitar 46,73 juta ton dan minyak inti sawit (crude palm kernel oil/CPKO) 4,52 juta ton pada 2022. Dibandingkan dengan dunia, pangsa produksi sawit di Indonesia sekitar 62%.

Nah, di tingkat on-farm (budidaya), perkebunan sawit di Indonesia sudah banyak menerima sertifikat dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), dan ISCC (International Sustainability and Carbon Certification).

ISPO dan RSPO mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan. RSPO fokus pada praktik perkebunan dan pabrik sawit, sedangkan ISPO pada perkebunan sawit.

ISCC bertujuan untuk membangun sistem sertifikasi biomassa dan bioenergi yang transparan, praktis, dan berorientasi internasional. ISCC ini berorientasi pada pengurangan emisi gas rumah kaca, tata guna lahan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan alam, dan keberlanjutan sosial.

Di off-farm (seperti pengolahan buah sawit), perusahaan mengikuti GMP (Good Manufacturing Practice) dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points). GMP fokus pada penjaminan proses manufaktur, sedangkan HACCP pada sistem analisis risiko bahaya dan pengendalian titik kritis.

Jika merujuk ekosistem halal, sejatinya industri sawit sudah menjalankan prinsip halal dan thayyib. “Produk halal harus mematuhi standar GMP dan HACCP serta diproduksi dan ditangani berdasarkan prinsip thayyib,” tulis Difa Ameliora Pujayanti dalam Youth & Islamic Economic Journal, Januari 2020.

Jadi, penerapan ekosistem halal pada industri sawit penting. Bukan saja bisa membuat industri sawit makin berkelanjutan di mata internasional, tetapi juga menjadi ekonomi yang berkah di Indonesia.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com