Suatu hari saya mendapat share tulisan yang berjudul Agro Industri di China. Penulisnya Babo EJB. Tulisan ini inspiratif. Bercerita tentang industri pengolahan pisang di China. Intisarinya: beri petani kebebasan berproduksi dan bantu mereka mendapatkan akses pasar dan teknologi.
Karena tulisan itu beredar di media sosial, maka saya mencari siapa Babo EJB ini. Setelah saya telusuri melalui FB, nama aslinya Erizeli Jely Bandaro (EJB). Melalui Messenger, saya izin untuk menyadur tulisan tersebut. Alhamdulillah penulisnya mengizinkan saya menyadur tulisan tersebut.
Industri pengolahan pisang
Sebuah perusahaan di Hongkong bermitra dengan perusahaan di Jepang membangun industri pengolahan pisang (downstream industry). Sebagaimana kita ketahui, pisang dapat diolah menjadi tepung pisang, sale pisang, kripik pisang, sari pisang, dodol pisang, dan sebagainya.
Perusahaan ini mendapat izin industri berstatus penanaman modal asing (PMA) dari pemerintah China. Otoritas Negeri Tirai Bambu itu juga mengizinkan membangun estate tanaman pisang 2.000 ha untuk memasok bahan baku ke industri pengolahan pisang tersebut.
Beberapa bulan setelah persiapan pembebasan lahan, datang pejabat lokal dan rakyat biasa ke perusahaan pengolahan pisang itu. Rakyat biasa itu menawarkan kepada perusahaan untuk mengurangi ongkos buruh dan meningkatkan produksi tanpa perusahaan mengeluarkan biaya.
“Tanah itu (estate tanaman pisang) tetap menjadi konsesi Anda dari pemerintah. Kami akan mengolahnya menjadi tanaman pisang dan hasil panen kami serahkan kepada Anda sesuai dengan harga pasar. Kita terbuka saja,” kata rakyat biasa itu, yang sebenarnya aktivis petani.
Kontrak jangka panjang
Yang menarik, petani itu tidak memerlukan modal dari perusahaan PMA itu. Tentu saja hal ini meringankan perusahaan PMA itu. Tetapi yang diperlukan petani itu adalah perusahaan PMA itu memberikan kontrak jangka panjang pembelian pisang yang diproduksi para petani itu.
“Kami butuh kontrak pasar jangka panjang,” kata petani itu kepada pimpinan perusahaan PMA tersebut. Pejabat pemerintah yang mendampingi petani tadi mengangguk kepada pimpinan perusahaan PMA. Bahwa pejabat pemerintah China itu menjamin komitmen aktivitis rakyat itu.
Tiga bulan kemudian traktor berdatangan untuk mengolah lahan yang akan ditanami pisang. Buruh berdatangan dalam jumlah besar yang sibuk menanam pisang. Pada saat bersamaan instalasi pabrik pengolahan pisang dipasang. Setelah pabrik selesai, panen pisang berdatangan.
Coba Anda perhatikan modelnya.
- Pabrik mendapatkan pasokan bahan baku (supply chain) dari lahan konsesinya sendiri.
- Pabrik tidak menanggung biaya tetap untuk upah buruh. Semua biaya produksi menjadi biaya variable yang membuat pabrik aman bersaing.
- Pabrik tidak perlu mengeluarkan biaya modal untuk pembukaan lahan.
Koperasi itu supply chain
Siapa supply chain tadi? Mereka adalah koperasi. Lahan 2.000 ha tadi dibagi kepada 500 orang pekerja yang tergabung dalam koperasi. Lantas bagaimana mereka mendapatkan modal?
Mereka mendatangi bank di mana pabrik tadi melakukan negosiasi LC (letter of credit). Para petani yang tergabung dalam koperasi tadi mengajukan kredit kepada bank.
Petani memperoleh kredit bank dengan cara menggadaikan warkat barang penyerahan kemudian. Warkat ini dikenal dengan proforma invoice.
Bagaimana risikonya? Warkat ini dijamin bank. Kalau petani gagal mengirimkan pisang ke pabrik, bank yang ganti rugi (bail out).
Mengapa bank mau memberikan kredit kepada petani yang tergabung dalam koperasi tadi? Karena sesuai dengan kontrak jual beli antara pabrik dan petani, pembayaran penjualan hasil panen ditransfer langsung ke bank.
Bagaimana kalau terjadi gagal panen? Karena bibit pisang dari pemerintah, kalau gagal panen karena bibit yang buruk maka pemerintah yang ganti rugi (bail out).
Jadi koperasi hanya fokus pada budidaya dan pascapanen pisang.
Institusi yang terlibat bersinergi
Coba Anda perhatikan.
Semua institusi yang terlibat bersinergi. Skema seperti itu bukan hanya pada tanaman pisang tetapi juga mangga, singkong, jeruk, jagung, cabai, kedelai, bawang putih, dan sebagainya.
Semua hasil produksi koperasi diolah di industri yang menghasilkan barang jadi sampai ke hilirnya.
Mengapa pengusaha mau masuk ke industri pengolahan ini? Karena ada jaminan pasokan bahan baku (supply chain) dari petani yang mandiri dan profesional melalui kelembagaan koperasi.
Industri pengolahan pertanian berkontribusi sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China. Daya tahan ekonomi ini sangat kuat selama manusia masih mengonsumsi produk-produk agribisnis.
Andaikan pasar ekspor industri pengolahan ini jatuh, hal itu tidak akan membuat ekonomi China bangkrut. Sebab 50% perekonomian China bergantung pada pertanian dan 80% rakyat China hidup dari sektor pertanian.
Fokus menguasai pasar
Apa kunci sukses sistem ini? Petani bersatu dalam koperasi dan fokus menguasai pasar terlebih dahulu sebelum mereka melakukan proses produksi.
Untuk menguasai pasar itu mereka bersinergi tanpa membebani industri pengolahan sebagai pembeli utama seperti meminta bantuan modal atau uang muka. Mereka berusaha menjadi mitra terhormat atas dasar bisnis dengan prinsip saling menguntungkan.
Ketika petani menguasai pasar, maka proses produksi hanya masalah manajemen dan risiko. Hal ini memudahkan para petani mendapatkan askes sumber permodalan (financial rosurces).
Petani China hebat. Mereka tidak menempatkan diri sebagai tangan di bawah. PMA datang tidak untung sendiri. Tetapi mereka datang menjadi agen mendistribusikan kesejahteraan. Dan ini merupakan kemauan rakyat sendiri yang lebih memilih bersinergi dari pada mengutuki PMA.
“Petani itu kalau diberi kemudahan, mereka akan rakus. Kita beri aturan yang ketat, mereka mengeluh. Cara terbaik agar mereka bangkit menjadi aset nasional, beri kebebasan berproduksi dan bantu mereka mendapat akses pasar dan teknologi. Selanjutnya uang akan datang dengan sendirinya. Dan mereka pantas makmur secara terhormat,” kata seorang penduduk China.