Memasuki Rukun Warga (RW) 16, Kelurahan Baktijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, terasa nyaman. Di wilayah seluas 4,25 ha ini hidup beragam tanaman di halaman rumah dan sepanjang pinggir jalan RW seperti mangga, daun katuk, sambung nyawa, daun kelor, dan pucuk merah.
Di salah satu dinding luar rumah warga, terdapat pula lukisan tiga dimensi: harimau dan jerapah. Harimau melambangkan hewan bermartabat tinggi dalam karakter dan penampilan, sementara itu jerapah menggambarkan perdamaian dan itikad baik.
Kedua lukisan tiga dimensi ini enak dinikmati dari segala arah mata memandang: dari kiri atau kanan, atas atau bawah, atau depan.
Di pagar-pagar rumah terdapat pula sejumlah spanduk mini yang mengandung pesan yang dalam tentang lingkungan dan sampah.
- “Awali Cinta Tanah Air dengan Mencintai Lingkungan Kita.”
- “Awali Pendidikan Karakter dari Rumah Sendiri.”
- “Pilah dan Kelola Sampahmu Lebih Baik.”
- “Buanglah Sampah pada Tempatnya.”
- “10 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga.”
Selain itu, kita bisa melihat satu Penampungan Air Hujan (PAH) di setiap Rukun Tetangga (RT). Boleh dibilang, menurut Sumarno, RW yang terdiri atas 10 RT dan berpenduduk sekitar 1.712 jiwa ini relatif kesulitan air.
Kehadiran PAH menjadi solusi. “Air dari PAH ini dapat digunakan untuk menyiram tanaman dan mencuci motor,” kata Ketua RW 16 itu, Sabtu, 15 Desember 2018.
Pengelolaan Sampah
Setelah melalui pelbagai sosialisasi, masalah sampah dapat diatasi. Pemilahan sampah dimulai dari ibu rumah tangga. Ada sampah organik (seperti sisa sayur dan nasi), ada sampah anorganik (seperti botol plastik bekas minuman), dan ada sampah residu (seperti bekas pembalut wanita).
Untuk sampah residu diangkut petugas yang mendapat honor dari iuran warga ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di Kelurahan Baktijaya. Untuk sampah anorganik dikumpulkan di bank sampah di RW untuk bahan kerajinan.
Sementara itu sampah organik diangkut petugas Dinas Lingkungan dan Pertamanan Depok ke Unit Pengolahan Sampah (UPS) di Jalan Merdeka.
Pihak Dinas menyediakan ember tempat sampah organik yang diletakkan di luar pagar rumah warga. Tiga kali seminggu petugas Dinas mengambil sampah organik untuk diolah menjadi kompos di UPS Merdeka.
“Jika kami memerlukan kompos (untuk tanaman), kami ke UPS mengambil pupuk yang sudah dikemas. Dapat gratis,” jelas Sumarno saat ditemui di kantor RW.
Sebelumnya, pihak RW pernah bermitra dengan UPS Merdeka dengan menggunakan maggot (belatung) untuk mengolah sampah organik di lingkungan RW.
Tetapi kecepatan maggot untuk “memakan” sampah organik tidak sepadan dengan membengkaknya volume sampah. Akibatnya lingkungan RW bau. “Nah, sebelum warga protes, program maggot ini kita hentikan,” paparnya.
Ondel-ondel dan Cheese Stick
Pengumpulan botol bekas antara lain dengan mengimbau para ibu yang menimbang balita di posyandu membawa botol-botol itu untuk bank sampah.
Setiap Jumat, para murid Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga wajib membawa botol-botol bekas yang ada di rumah. “Namanya sedekah sampah,” kata Dwi Hastuti, Ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) RW 16.
Dari botol-botol bekas tersebut, ada warga yang membuat kerajinan boneka ondel-ondel yang dijual Rp 25 ribu per pasang. “Ondel-ondel ini dari botol bekas teh Pucuk Harum,” kata Dwi.
Selain itu, warga juga membuat kripik dari daun sambung nyawa dan cheese stick (kue ringan) berbahan baku daun katuk. Daun sambung nyawa dan daun katuk diperoleh dari tanaman obat keluarga (toga), yang dipupuk dengan pupuk kompos tadi. “Sementara ini kripik dan chesse stick kami jual di warung-warung. Kami masih home industry,” kata Dwi saat ditemui di kantor RW.
Jadi ada hubungan antara bersih, sehat, pendidikan, dan kewirausahaan. Konotasi sehat adalah bersih. Konotasi bersih adalah bebas dari sampah. Kemudian sampah anorganik diolah menjadi mainan skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Jadi, “Nyambung antara kebersihan, kesehatan, pendidikan, dan UMKM,” kata Sumarno, pensiunan pegawai Kementerian Kesehatan.
Kampung Berseri Astra
Sejak berdiri 1957, cita-cita PT Astra International Tbk tetap sama: sejahtera bersama bangsa.
Berkat spirit tersebutlah yang mendorong perusahaan otomotif ini mengangkat beragam potensi lokal melalui program Kampung Berseri Astra (KBA). RW 16, Kelurahan Baktijaya, adalah salah satu dari 78 KBA di seluruh Indonesia. Tahun pelaksanaan KBA di RW ini dimulai 2015.
KBA merupakan program kontribusi sosial berkelanjutan Astra. Konsep ini diterapkan melalui pengembangan yang memadukan program empat pilar, yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.
Perusahaan bersama masyarakat berupaya untuk mewujudkan wilayah yang sehat, cerdas, bersih, dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Bagi warga KBA, program tersebut diharapkan dapat mengubah kualitas hidup mereka dari segi kesehatan (perilaku hidup lebih sehat), pendidikan (meningkatkan kesadaran bersekolah), lingkungan (bersih dan hijau), dan kewirausahaan (meningkatkan kesejahteraan). Bagi Astra, program ini diharapkan dapat meningkatkan hubungan sosial yang baik dengan masyarakat.
Bagi pemerintah, dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui program KBA ini, diharapkan dapat mengerek Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tidak hanya di wilayah KBA, tetapi juga di wilayah sekitarnya. KBA menekankan imbas kebermanfaatan dan keberlanjutan.
Dalam penerapannya, terdapat tahapan pencapaian status yang sesuai dengan proyeksi KBA berdasarkan target yang telah ditetapkan. Status ini terdiri atas bintang 1 sampai 5, yaitu Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan Kencana. KBA RW 16, Februari 2017, berstasus Madya.
Pemetaan sosial merupakan salah satu cara untuk mengetahui kondisi awal calon KBA. Dari pemetaan ini diperoleh gambaran kebutuhan masyarakat, potensi masyarakat dan wilayah yang dapat dikembangan, serta menemukan keunggulan lokal.
“Astra melihat kami dari hasil upload kami di youtube terkait lingkungan di kita,” kata Sumarno, sembari menyeruput secangkir kopi.
Sejak menjadi KBA, 2015, banyak hal yang didapat RW 16 ini. “Kami mendapat support dari Astra maupun Dinas Lingkungan Hidup Kota Depok. Ketika ada titik-titik yang belum hijau, kami dikasih pot, dikasih pohon. Waktu belum diberikan pot, kami beli sendiri,” kata Sumarno.
Selain bantuan PAH, Astra juga membuat pagar PAUD, memberi timbangan bayi dan alat pemadam kebakaran. Di samping itu, ada juga pelatihan pembukuan, pemasaran, pendidikan, dan posyandu.
“Belum lama ini saya mengantar ibu-ibu guru PAUD untuk pelatihan digitalisasi lembaga PAUD dan peran orang tua dalam mendidik anak-anak,” kata Dwi dengan bersemangat.
Yang lebih menarik, Astra juga memberikan beasiswa kepada 32 murid SD sampai SMA. Beasiswa akan terus berlanjut jika nanti diterima di perguruan tinggi. Tetapi beasiswa terputus jika murid tidak naik kelas atau setamat SMA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.
Bantuan Astra memang selalu berbentuk natura. “Kami tidak menerima dalam bentuk cash money,” jelas Sumarno. “Astra ini suka memberi, tetapi kami tidak bisa meminta sesuka hati. Harus sesuai dengan empat pilar tadi,” tambah Dwi.
“Saya melihat Astra ini punya konsep berbagi. Dia membangun KBA ini adalah salah satu cara berbagi ke masyarakat,” kata Sumarno.
Proklim dan Tetamu
RW 16 di Baktijaya merupakan salah satu dari 41 peserta yang mendapat apresiasi dari Program Kampung Lingkungan (Proklim) Tahun 2018 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jumlah tersebut diseleksi dari 588 titik setingkat RW dari seluruh Indonesia. “Alhamdulillah, kita mendapatkan sertifikat utama Proklim Tahun 2018 ini,” kata Sumarno.
Tapi RW ini belum mendapat trofi. Yang mendapat trofi adalah RW 03 Kelurahan Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur, yang mengelola Bank Sampah dan RW 04 Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang antara lain melakukan daur ulang sampah anorganik seperti botol dan sedotan plastik. “Sebelumnya yang dari Malaka Sari pernah ke sini,” katanya.
Selain kedatangan rekan dari Malaka Sari dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, RW 16 pernah kedatangan tamu dari Pancoran Mas (Depok), ibu-ibu PKK dari Padang, Sumatera Barat, dan Komunitas TaPe uLi (Tangan Peduli Lingkungan) juga dari Depok. “Yang dari Pulau Pramuka tertarik dengan penghijauan di sini. Sekarang mereka lebih hijau dari sini,” kata Dwi.
Meski bersaing dalam menggapai pelbagai penghargaan, toh Sumarno dengan senang hati untuk berbagi dengan tetamu yang datang. “Kami dengan senang hati menyebarkan virus kebaikan. Kami anggap tamu itu adalah mitra untuk menyebarkan kebaikan yang kami punyai,” katanya.
RW 16 Dulu dan Kini
Jangan hanya melihat RW 16 saat ini tetapi perhatikan juga masa lalunya. RW 16 ini terletak di Perumnas Depok II Timur. Perumahan ini mulai dibangun 1978 dan dihuni 1980-1981.
Sebelum ada Jalan Juanda, RW 16 ini berada di paling belakang. Kalau mau ke Jalan Margonda Raya, warga harus melewati Jalan Tole Iskandar atau Jalan Siliwangi. Bayangkan, betapa macetnya.
Namun, setelah diresmikannya Jalan Juanda pada 3 Desember 2003, RW 16 justru berada di pinggir jalan raya. “Sekarang ini kita berada paling depan untuk akses ke Jakarta,” ujar Sumarno.
Jalan Juanda sepanjang 4 km ini menghubungkan Jalan Raya Bogor dan Jalan Margonda Raya.
Sebagai Perumnas di daerah perkotaan, tentunya penghuni RW 16 terdiri dari pelbagai suku. Keributan antar warga adalah makanan sehari-hari. Misalnya, ribut gara-gara kalah bermain voli.
“Kita juga punya masa lalu yang nggak baik juga. Ribut jadi. Minum (bir) jadi. Sayalah biang keroknya. Tetapi, setelah saya menikah 1985, Alhamduillah nggak ada lagi keributan,” katanya.
Sumarno tidak pernah mau menutup-nutupi masalah lalunya. Tetapi ia yakin, segala sesuatu bisa berubah untuk kebaikan. “Masa lalu (yang buruk) ini hanya boleh dikenang, tapi tidak untuk diulangi. Tidak ada sesuatu yang tak mungkin (untuk kebaikan). Semua itu mungkin,” katanya.
Memberikan pemahaman kepada warga tentang pentingnya kesehatan, pendidikan, kebersihan lingkungan, dan kewirausahaan agak sulit.
“Kalau sudah capek, kadang-kadang muncul, ya sudahlah. Tapi itu nggak bisa. Belum lagi kalau Astra menyampaikan program. Kita bangkit lagi. Nggak kenal waktu. Nggak ada jam kerja. Kita selalu stand by,” Dwi bercerita pengalamannya.
Tapi sebagai pemimpin, pengurus RW dan RT terus bergerak. “Saya harus berpikir, bertindak dan mengomunikasikan segala sesuatu. Tidak cukup hanya menghimbau tetapi harus turun tangan memberikan contoh. Ini lho, ketua RT saja mau menyiram tanaman,” kata Sumarno.
Jika masih ada warga yang belum mau, kata Sumarno, mungkin suatu saat kesadarannya terpanggil.
Di antara pengurus RW dan RT, komunikasi tidak hanya terjadi pada setiap rapat bulanan, tetapi setiap saat melalui WhatsApp (WA). “Hal-hal kecil selalu dikomunikasikan. Semua saya share lewat WA ke pengurus RW dan RT agar memahami dan barangkali ada saran,” kata Sumarno.
Misalnya menangani anak-anak nongkrong sampai larut malam, yang berpotensi menimbulkan keributan.
“Kita omongin baik-baik. Kita temui di lapangan. Dik, ini Bapak bilang terkahir. Jangan lagi bermain di sini di atas jam 11.00 malam. Kalau ada apa-apa, ditangkap aparat keamanan, Bapak tidak bertanggung jawab lagi. Lewat WA cepat diselesaikan,” cerita Sumarno.
Kendala krusial pengurus RT dan RW itu, kata Sumarno, adalah memberikan pemahaman, pengertian, dan mengedukasi masyarakat untuk menjaga lingkungan dan aktif berpartisipasi di lingkungan. Ada yang mau menerima, ada yang tidak.
“Selaku pengurus tidak cukup hanya omongan. Kita harus turun tangan memberikan contoh kepada warga. Keteladanan,” kata Dwi.
Dengan keteladanan akan selalu terukir kebersamaan antara pengurus RW, RT, dan warga dalam mengungkit kesejahteraan warga RW 16: kampung yang bermartabat kuat seperti harimau dan bersosok damai seperti jerapah. Kampung hijau dengan beragam tanaman. Bersih. Sehat.
“Kami tidak punya apa-apa. Modal utama kami hanyalah semangat dan kebersamaan,” tutup Sumarno.