Eucalyptol bekhasiat sebagai kandidat antivirus dan obat Covid-19.
Daun dan bunga eukaliptus. Sumber: wikimedia.org. Diakses Jumat, 22 Mei 2020.

Salah satu senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri yang telah dilaporkan sebagai antivirus dan antimikroba (jamur dan bakteri) adalah 1,8-cineole. Senyawa dengan nama dagang eucalyptol ini termasuk ke dalam kelompok komponen oksigenasi monoterpen.

Minyak atrisi yang mengandung eucalyptol, menurut Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian, dapat mengendalikan herpes simplex virus tipe-1, penyebab luka pada mulut dan wajah.

Berkat kandungan eucalyptol, minyak atsiri juga dilaporkan dapat menekan kemampuan infeksi virus sampai lebih dari 96%. Eucalyptol juga dapat melindungi hewan percobaan dari infeksi virus influenza A, yang disebabkan virus RNA (ribonucleic acid) dari famili Orthomyxoviridae (virus influenza).

Penggunaan eucalyptol juga dilaporkan dapat mengendalikan infeksi terhadap virus influenza H1N1.

Selain sebagai antivirus, menurut Evi Savitri Iriani, Kepala Balittro, eucalyptol ini juga efektif untuk mengendalikan jamur dan bakteri. Karena itu, jangan heran kalau eucaplyptol digunakan sebagai bahan baku produk kesehatan, antara lain obat kumur untuk mengendalikan bakteri di mulut.

Kandidat antivirus dan obat Covid-19

Yang menarik, dari penelitian Balitbangtan, eucaplyptol adalah kandidat antivirus dan obat Covid-19. Dari penelitian tersebut, eucaplyptol dapat membunuh 86% – 100% virus corona.

Eucaplyptol bekerja dengan cara mengikat Main Protease (Mpro), yang berperan dalam replikasi sehingga penggandaan jumlah virus terhambat.

Eucalyptol juga dapat berinteraksi dengan reseptor di saluran pernapasan sehingga senyawa itu dapat mencekal virus yang masuk ke saluran tersebut.

Meski baru diujicobakan pada virus Avian Influenza, Beta Corona Virus (Beta-Cov), dan Gamma Corana Virus (Gamma-Cov), tetapi eucalyptol juga diyakini dapat mengikat Mpro atau 3CLpro pada SARS-Cov-2, penyebab Covid-19. Dengan demikian, eucalyptol diharapkan dapat mencegah Covid-19.

Sebagaimana kita ketahui, SARS-Cov-2 termasuk kelompok Beta-Cov. Karena Balitbangtan sendiri belum mempunyai SARS-Cov-2 sehingga belum melakukan uji coba eucalyptol pada virus penyebab Covid-19 itu.

Tetapi dari pengujian terhadap penderita Covid-19 di Bogor (Jawa Barat) dan Sulawesi Selatan, setelah berulang kali menghirup eucalyptol dan dilakukan swab test, ternyata penderita Covid-19 tersebut menjadi negatif. Karena itulah eucalyptol berpotensi sebagai antivirus dan obat Covid-19.

Sekarang sediaan produk yang mengandung eucalyptol sudah dapat digunakan sebagai jamu karena awal Juli 2020 sudah mendapat izin produksi dan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sediaan produknya antara lain minyak oles, balsem, inhaler, aromaterapi, dan roll-on.

Untuk membuktikan apakah eucalyptol dapat berfungsi sebagai antivirus dan obat Covid-19, Kementerian Pertanian dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan melakukan uji klinis. Kalau uji klinis tersebut berjalan lancar, maka diperkirakan hasil uji tersebut sudah dapat diketahui pada Januari 2021.

Jika kelak eucalyptol terbukti sebagai antivirus dan obat Covid-19, maka diharapkan dapat meningkatkan permintaan tanaman atsiri yang mengandung eucalyptol.

“Harapannya mitra kami (PT Eagle Indo Pharma, yang telah melakukan kerjasama lisensi dengan Balitbangtan) dapat menyerap hasil petani kita,” kata Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry.

Tanaman atsiri mengandung eucalyptol

Lebih dari 17.500 spesies tanaman menghasilkan minyak atsiri, yang sebagian besar terdiri dari terpene, terpenoid, dan fenilpropanoid. Tapi baru sekitar 300 spesies tanaman yang sudah dikomersialkan.

Di antara tanaman tersebut yang minyak atsirinya mengandung eucalyptol antara lain Eucalyptus sp. (eukaliptus), Melaleuca cajuputi (kayu putih), dan Thymus sp. (timi). Dari ketiga tanaman tersebut, yang paling tinggi kandungan eucaplyptol dalam minyak atsirinya adalah eukaliptus.

Minyak atsiri eukaliptus banyak digunakan dalam industri farmasi dan parfum. Dari 700 spesies eukaliptus, minyak atsiri yang diekstrak dari spesies Eucalyptus globulus Labill mengandung lebih dari 80% eucalyptol.

Minyak atsiri E. globulus yang tumbuh di Australia mengandung 81,1% – 90% eucalyptol, yang tumbuh di Montenegoro 85,8%, yang tumbuh di Italia 84,9%, dan yang tumbuh di Indonesia 86,5%. Karena itulah, disarankan mengusahakan atau menanam E. globulus sebagai sumber eucalyptol.

Kandungan eucapyptol di dalam minyak atsiri eukaliptus lebih dari 80%.
Ilustrasi minyak atsiri dari eukaliptus. Sumber: tabloidsinartani.com. Diakses Jumat, 22 Mei 2020.

Dengan jarak tanam 5m x 5m, satu hektar dapat ditanami 400 pohon eukaliptus. Sebagai penghasil kayu bulat, tanaman ini dapat dipanen pada umur 5 – 6 tahun. Dengan diameter batang 30 – 35 cm dan tinggi pohon 20 m, satu pohon dapat menghasilkan kayu bulat sekitar 0,7 m3. Atau secara total sekitar 280 m3 kayu bulat per ha.

Selama ini petani menggunakan daun eukaliptus sebagai pestisida nabati  untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman. Sekarang daun dan tangkai tanaman yang berbunga Maret – Juni dan Oktober – Desember ini, semakin bernilai ekonomi sebagai penghasil minyak atsiri yang mengandung eucalyptol.

Selain pendapatan dari menjual kayunya, petani juga dapat menikmati hasil penjualan daun eukaliptus, yang dapat diekstrak menghasilkan minyak atsiri.

Kesejahteraan petani

Salah satu misi pembangunan pertanian adalah mewujudkan kesejahteraan petani. Salah satu cara untuk mengukur kesejahteraan petani adalah menggunakan indikator relatif Nilai Tukar Petani (NTP), yang menunjukkan kemampuan petani dalam meningkatkan pendapatan mereka.

NTP berguna untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga. Selain itu NTP bisa juga sebagai indikasi tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lainnya.

Pada tahun 2019, NTP meningkat 0,91% dibandingkan dengan tahun 2018. Peningkatan terbesar pada Subsektor Hortikultura sebesar 2,54% dan terendah pada Subsektor Peternakan sebesar 0,63%. Penurunan NTP terjadi pada Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar -0,15%.

Selain NTP, pemerintah juga menggunakan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) untuk mengukur tingkat keberhasilan usaha pertanian berdasarkan pendapatan yang diterima petani dari kenaikan atau penurunan harga produksi dibandingkan dengan kenaikan atau penurunan harga atau jasa input produksi.

Menurut data Badan Pusat Statistik, NTUP (dalam hal ini pertanian dalam arti sempit yang meliputi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, dan Peternakan) pada tahun 2015 sekitar 107,44. Meningkat signifikan menjadi 112,17 pada tahun 2019. Hal ini berarti profitabilitas pertanian meningkat cukup berarti.

Jika kelak dari uji klinis eucalyptol terbukti sebagai antivirus dan obat Covid-19, maka diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah eukaliptus sebagai penghasil minyak atsiri yang mengandung eucalyptol. Semua ini bermula dari penelitian Balitbangtan, yang akhirnya bisa membawa berkat untuk kesejahteraan petani.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com.