Tanaman padi di Desa Dwijaya, Kecamatan Tugu Mulyo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel), pernah terserang wabah wereng batang cokelat (WBC), hama utama tanaman padi.
Secara langsung, hama bernama ilmiah Nilaparvata lugens ini mengisap cairan tanaman padi. Daun padi menguning, kering, dan mati.
Secara tidak langsung, hama ini juga bisa membawa virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput.
Pada padi fase vegetatif, virus kerdil hampa bisa memicu daun rombeng, tercabik, koyak, terkadang berwarna putih. Padi tumbuh kerdil. Keluar malai lebih lambat 10 hari dari normal. Saat keluar malai, tidak penuh. Daun bendera keriting. Saat matang, gabah hampa. Petani rugi.
Sebelum berumur 35 hari setelah tanam (HST), menurut Teddy Kosasih, tanaman padi Kelompok Karya Tani ini sudah menggunakan MIPC (insektisida kimia).
Namun, menurut Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) dari Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel, Tugu Mulyo, ini, WBC tetap banyak.
Di lahan 50 ha itu, menurut Ari Priyati, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Dwijaya, penanaman padi lebih lambat dari lahan lain. Lahan ini sempat dibiarkan selama delapan bulan karena belum ada air. Begitu lahan terasering ini mendapat air hujan, barulah digarap.
Sementara di lahan yang berdekatan sudah panen lebih dulu. Akibatnya, “Werengnya bermigrasi ke sini. Rupanya pakai MIPC kurang mampu mengendalikan WBC,” kata Teddy, Sabtu, 4 Mei 2019.
Musuh alami tetap aman
Kemudian Teddy mengontak Reza Palevi, agronomis PT Prima Agro Tech (PAT).
Kebetulan, di Musi Rawas ini sudah dua kali melakukan demplot area menggunakan Metarizep untuk mengendalikan WBC.
Pertama di lahan 610 ha. Kedua di lahan 2.000 ha. “Di demplot area, petani sudah merasakan manfaat Metarizep,” ungkap Teddy saat ditemui di Dwijaya.
Metarizep merupakan bioinsektisida yang mengandung cendawan Metarhizium spp. dan Beauvaria bassiana, yang sangat efektif sebagai biokontrol WBC pada tanaman padi.
Selain efektif juga sebagai biokontrol larva kumbang tanduk, thrips, kutu, dan walang sangit, produk PAT ini tidak membunuh musuh alami dan tidak pula menyebabkan terjadinya resistensi dan resurjensi.
Resistensi berarti kebalnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) terhadap pestisida yang diaplikasikan. Dalam hal ini, pestisida sudah tidak mempan lagi mengendalikan OPT tersebut.
Sementara resurjensi berarti peningkatan populasi organisme sasaran setelah mendapat perlakuan pestisida.
Karena di lahan Kelompok Karya Tani ini bukan demplot area Metarizep, maka PAT hanya membantu mengendalikan WBC untuk 5 ha.
Dari pengamatan awal, pada padi berumur 35 HST ini terdapat 25-35 ekor WBC per rumpun padi.
Setiap kali aplikasi, dengan takaran tiga sachet Metarizep (satu sachet 50 gram) per hektar, setiap sachet dilarutkan ke dalam air 3-4 tangki sprayer (setiap tangki 15 liter).
Jadi setiap hektar disemprot Metarizep sekitar 12 tangki air per satu aplikasi.
Dari pengolahan lahan
Dalam kondisi normal, biasanya untuk pencegahan, rentang aplikasi Metarizep dua minggu sekali.
Tapi dalam kondisi mewabah seperti sekarang ini, kata Reza, aplikasi dilakukan tiga hari sekali sebanyak tiga kali.
Saat aplikasi pertama, populasi WBC turun menjadi sekitar 8 ekor per rumpun padi.
Pada aplikasi tiga hari berikutnya, populasi WBC turun menjadi 1-5 ekor per rumpun.
“Pada aplikasi ketiga, saya amati sudah tidak ada lagi WBC,” papar Reza di Dwijaya.
Menurut Syafrudin, Business Development PAT, pihaknya melakukan gerakan pengendalian (gerdal) di Dwijaya ini pada saat terjadi wabah WBC. Tidak dari awal.
Kalau dari awal, menurut Reza, mestinya dimulai sejak pengolahan lahan dengan mengaplikasikan Decoprima, dekomposer aerob.
Kemudian di lahan tadi diberikan pupuk dasar campuran Huma Top dan SP-36. Perlakuan benih dengan Orizaplus. Aplikasi Metarizep pada saat persemaian sebanyak dua kali. Setelah pindah tanam, aplikasi Metarizep dua minggu sekali sampai padi berumur sekitar 50-55 HST.
“Kalau dari awal seperti di demplot area, petani sudah merasakan manfaat menggunakan Metarizep. Mereka sudah tahu buktinya,” tandas Teddy.
Kendati Dwijaya ini bukan demplot area, pihaknya ingin memotivasi petani supaya tidak selalu tergantung bahan-bahan kimia untuk mengendalikan WBC, tapi juga bisa memanfaatkan Metarizep.
Menanam refugia
Selain memotivasi petani menggunakan bioinsektisida, Koordinator POPT Sumsel itu juga mengajak para petani untuk menanam refugia.
Kelompok tanaman ini bisa menjadi tempat perlindungan dan sumber pakan bagi musuh alami (predator dan parasitoid) WBC.
Predator ini mengendalikan WBC dengan memangsa WBC stadia muda dan dewasa.
Beberapa predator yang biasa tinggal di tanaman refugia ini adalah laba-laba harimau, kepik mirid, dan kumbang carabid.
Ada juga musuh alami yang memparasit telur WBC, antara lain Anagrus sp., Gonatocerus sp., dan Oligosita sp.
Ada pula musuh alami yang bertindak sebagai patogen dengan cara menembus tubuh wereng sehingga wereng sakit dan mati, misalnya cendawan Metarhizium sp. dan cendawan Beauvaria bassiana.
“Penanaman refugia ini sudah kita sosialisasikan kepada petani. Tapi penyerapan petani itu bertahap. Padahal sudah kita jelaskan betapa pentingnya untuk menanam refugia,” papar Teddy.
Sebagai petugas, pihaknya terus mendorong petani menanam refugia.
Bahkan di lahan padi di Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel di Tugu Mulyo, sudah memberikan contoh kepada petani untuk menanam refugia.
Teddy ingin agar petani tidak selalu tergantung pada penggunaan insektisida kimia, tetapi juga secara alami seperti menggunakan bioinsektisida dan menanam refugia untuk mengendalikan WBC (stadia telur, nimfa atau WBC muda, dan imago atau WBC dewasa).
“Dengan Metarizep ini petani sudah yakin dan terbukti mengendalikan WBC. Tapi sayang belum banyak kios yang menyediakan Metarizep ini,” katanya. Karena itu, “Bisa juga mengontak saya langsung,” tanggap Reza.
Artikel bersifat edukasi ini pernah dimuat di Majalah AGRINA edisi 300, Juni 2019.