Budidaya padi di lahan berpirit.
Gupuh Slamet, Sulastri (istrinya), dan cucu di depan rumahnya. Sumber: Majalah AGRINA.

Gupuh Slamet, 54, sumringah. Ayah empat anak dan lima cucu ini, tidak lagi menggunakan dolomit, yang biasanya satu ton per hektar, untuk sawahnya di lahan rawa pasang surut.

Kini petani di Desa Telang Rejo, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, ini menggunakan teknologi alternatif untuk mengatasi lahan sawahnya yang berpirit (FeS2).

Mineral tanah ini banyak ditemukan di lahan sawah pasang surut. Bila pirit ini tersingkap dan bersentuhan dengan oksigen, tanah kian masam. Nilai pH (derajat keasaman) tanah bisa anjlok di bawah 3,5.

Dalam kondisi ini, padi kesulitan menyerap hara tanah. Akibatnya padi menjadi kurang subur dan bewarna kekuningan. Pada dasarnya, padi menyukai tumbuh di lahan ber-pH 5-6.

Kemudian Sekretaris Kelompok Tani (Poktan) Harapan Mulyo ini berkenalan dengan PT Prima Agro Tech (PAT). Suami Sulastri ini mengaplikasikan Decohumat (pembenah tanah), HumaTop (anti pirit), dan HumaPro (pengisi bulir padi dan perangsang pertumbuhan).

“Di lahan ini kita fokus mengatasi pirit,” kata Syafrudin, Business Development PAT, saat ditemui di Telang Rejo.

Kebutuhan HumaTop, menurut Batara Yuzura, tenaga lapangan PAT di Telang Rejo, sekitar 8 kg per ha. Bandingkan kalau menggunakan dolomit, yang mencapai satu ton.

Secara transportasi jauh lebih mudah menggunakan HumaTop ketimbang menggunakan dolomit. “Belum lagi mutu dolomit di pasaran itu berbeda-beda. Tergantung dari mana dolomit itu berasal,” papar Gupuh.

Pengolahan lahan

Dalam pengolahan lahan, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Samani dan Sarah ini, menggunakan traktor.

Kalau IP 100 (menanam padi satu kali setahun), ia menggunakan traktor tangan milik sendiri Quick Boxer G 1000. Tapi kalau IP 200 (menanam padi 2 kali setahun), ia menyewa traktor roda 4 John Deere tiga silinder.

Pengolahan tanah dengan traktor Quick.
Gupuh Slamet dan traktor Quick Boxer G 1000. Sumber: Majalah AGRINA.

Dengan pengolahan lahan menggunakan traktor ini, memudahkan pupuk untuk bercampur dengan tanah. Padi lebih mudah menyerap unsur hara.

Petani transmigran dari Batu, Malang, Jawa Timur, ini melek teknologi. Apalagi ia mempunyai lahan 12 ha. Pengolahan lahan lebih ringan menggunakan traktor.

Begitu pula panen padi. Gupuh menyewa combine harvester Green Star, Yanmar, atau Tanika. Waktu panen hanya 2 jam per ha.

Selain itu, dalam pengendalian hama dan penyakit, ia mengaplikasikan pestisida alami, yang diproduksi PAT. Untuk mengatasi penggerek batang, ia menggunakan BT-Plus. Mengatasi wereng menggunakan Metarizep. Mengatasi blast dan kresek menggunakan Primadeco.

Sedangkan untuk imunisasi dan pengurangan dosis pupuk kimia, ia mengaplikasikan Orizaplus.

“Saya senang menggunakan produk-produk PAT karena meringankan petani,” kata ayah Sri Wahyuti, Ngatuti, Sinta, dan Ade Irma ini. Pertama, tidak perlu menggunakan dolomit. Kedua, mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Sekarang ini cukup menggunakan pupuk TSP 100 kg, SP-36 20 kg, urea 100 kg, dan NPK Phonska 100 kg. “Biasanya pupuk kimia dua kalinya,” katanya.

Benih berlabel

Dari pengalamannya selama ini, setelah mengaplikasikan paket produk PAT, total biaya yang dikeluarkan menjadi sekitar Rp 3 juta per ha. Padahal, sebelum menggunakan produk-produk PAT, total biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 5 juta. Ada penghematan penggunaan pupuk kimia.

Gupuh Slamet di sawah.
Dari kiri ke kanan: Gupuh Slamet, Syafrudin (PT Prima Agro Tech atau PAT), Reza Palevi (PAT), dan Batara Yuzura (PAT). Sumber: Majalah AGRINA.

Dalam hal benih, Gupuh menggunakan varietas Pandan Wangi bukan berlabel. Dengan sistem tanam benih langsung (tabela), diperlukan benih sekitar 110 kg per ha. Hasil produksinya sekitar 7 ton gabah kering panen (GKP) per ha.

Tapi kalau menggunakan benih berlabel diperlukan sekitar 80 kg per ha. Hasilnya, menurut Gupuh, bisa mencapai 10 ton GKP per ha. Karena kemurnian benih berlabel relatif lebih tinggi.

“Berikutnya saya akan menggunakan benih berlabel ungu (benih pokok atau stock seed),” kata Gupuh. Benih pokok merupakan keturunan benih dasar (foundation seed) yang berlabel putih.

Dengan menggunakan benih berlabel ungu, ia berharap bisa menghasilkan benih sebar (extention seed) yang berlabel biru, yang dapat digunakan untuk penanamam padi pada musim berikutnya.

Dengan harga GKP Rp 3.900 per kg dan hasil sekitar 7 ton GKP per ha, pendapatan kotor sekitar Rp 27,3 juta ha. Dikurangi biaya Rp 3 juta per ha, penghasilan bersih Rp 24,3 juta ha.

Semestinya, menurut Reza Palevi, harga padi bebas residu pestisida ini lebih tinggi. “Tapi karena belum bersertifikat (bebas residu), harganya sama dengan gabah biasa,” kata ahli agronomi PAT itu.

Bertani itu enak

Pada April 1980, Gupuh Slamet bersama adiknya, Riyadi, ikut orang tuanya bertransmigrasi ke Desa Telang Rejo, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara kakaknya, Siadi, tetap di Batu, Malang.

Keluarga langsung mendapat lahan garapan 2 ha dan lahan rumah ¼ ha. “Waktu zaman Pak Harto, kami langsung mendapatkan sertifikat hak milik,” cerita Gupuh.

Selain menggarap lahan tadah hujan, pada awalnya keluarga ini juga mengambil upahan dari warga setempat. Antara lain mengangkut kayu dan menanam padi.

Lama kelamaan, berkat ketekunan, akhirnya keluarga ini berhasil. Kini Gupuh sendiri mempunyai lahan sawah pasang surut sekitar 12 ha.

Secara total luas lahan pasang surut di Desa Telang Rejo ini sekitar 2.000 ha.

Jumlah penduduk di desa ini sekitar 2.322 orang. Di sini terdapat 18 kelompok tani. Satu kelompok 32 orang dengan total lahan 64 ha. “Tapi kebanyakan petani di sini memiliki lahan rata-rata 5 ha,” kata Gupuh.

Bertani itu enak. “Kami udah kerasan di sini. Bahkan kami ikut membangun rumah kakak di Malang,” kata Gupuh, yang Maret 2019 menunaikan ibadah umroh.

Jangan heran, dalam membeli sarana produksi pertanian, Gupuh dan para transmigran di desa ini, tidak lagi berpikir yang murah.

“Kami nggak mikir murah. Mahal kami beli asalkan terbukti bisa meningkatkan produksi,” kata Gupuh.

“PAT selalu menjaga mutu produknya,” timpal Syafrudin.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah AGRINA Edisi 299.