Selama ini, orang banyak mengenal kelapa sawit sebagai penghasil oleopangan (seperti minyak goreng dan margarin), oleokimia (untuk deterjen dan pelumas), dan asam laurat (untuk kosmetik dan sabun).
Tetapi, sekarang ramai dibicarakan kelapa sawit sebagai penghasil bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel.
Antara lain sebagai penghasil biodiesel, green diesel (diesel nabati murni), bioavtur, green jet avtur (avtur nabati murni), green gasoline (bensin nabati murni), dan gas LPG (Liquified Petroleum Gas).
Biodiesel, diesel nabati murni, bensin nabati murni, dan LPG diolah dari minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO), sedangkan bioavtur dan green jet avtur diolah dari minyak inti sawit (palm kernel oil atau PKO).
Tetapi ada satu lagi sumber bahan bakar nabati yang dapat diolah dari kelapa sawit, yaitu biomassa selain CPO dan PKO.
Perlu diketahui, dari satu pohon kelapa sawit, secara biomassa total bobot CPO dan PKO sekitar 10%.
Biomassa lain adalah batang, pelepah, serat buah (mesocarp atau reddish pulp) yang sudah diekstraksi CPO-nya, tandan buah kosong, cangkang (endocarp) yang sudah diambil intinya, dan bungkil inti kelapa sawit (palm kernel expeller) yang sudah diekstraksi PKO-nya. Total biomassa tersebut sekitar 90%.
Tetapi untuk batang yang bobot biomassanya sekitar 10% dari total satu pohon kelapa sawit selama umur produktif, baru bisa dimanfaatkan pada saat peremajaan (replanting).
Biasanya umur produktif kelapa sawit sekitar 25 tahun, setelah itu diremajakan. Selama masa produktif, pemilik kebun kelapa sawit dapat memanen buah sawit atau tandan buah segar (TBS) setiap bulan.
Pelepah sawit yang bobot biomassanya sekitar 70% selama umur produktif dapat dimanfaatkan sepanjang tahun.
Begitu juga tandan buah kosong, serat buah, cangkang, dan bungkil sawit yang total bobot biomassanya sekitar 10% dapat dimanfaatkan sepanjang tahun selama usia produktif.
Selain itu, yang juga dapat dimanfaatkan adalah air buangan pengolahan CPO dan PKO yang disebut limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent atau POME).
Jadi, bahan bakar nabati utama yang berbahan kelapa sawit ada tujuh, yaitu biodiesel, green diesel, bioavtur, green jet avtur, green gasoline, gas LPG, dan yang bersumber dari biomassa.
Biodiesel berbahan kelapa sawit
Pembuatan biodiesel dimulai dengan memurnikan CPO menjadi RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil).
Pemurnian tersebut dilakukan melalui penyulingan CPO untuk menghilangkan asam lemak bebas dan penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau.
Kemudian melalui transesterifikasi, RBDPO dicampur dengan methanol dan sodium methylate untuk memisahkan FAME (fatty acid methyl ester) dan gliserin.
Setelah FAME dicuci, dikeringkan, dan disaring, maka FAME atau biodiesel murni ini siap digunakan.
Pada program biodiesel B30, fosil solar 70% dicampur dengan FAME 30%, yang dimulai 1 Januari 2020.
Di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) biodiesel B30 ini dikenal dengan biosolar, yaitu solar fosil yang dicampur dengan biodiesel.
Sekarang Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) menguji coba biodiesel B40, yaitu B30 FAME + DPME (distilled palm oil methyl ester) 10 dan B30 FAME + HVO (hydrogenated vegetable oil) 10.
Yang dimaksud B30 FAME + DPME 10 adalah campuran solar fosil 60%, FAME 30%, dan DPME 10%, sedangkan B30 FAME + HVO 10 adalah campuran solar fosil 60%, FAME 30%, dan HVO 10%.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkontribusi dalam mendukung biaya pengembangan dan pengujian B40. Kemungkinan besar program B40 baru bisa diterapkan tahun 2023.
Green diesel berbahan kelapa sawit
Green diesel atau diesel biohidrokarbon diolah dari RBDPO. Pengolahan green diesel itu dilakukan di kilang minyak PT Pertamina (Persero) dengan mencampurkan katalis “Merah Putih” dalam RBDPO.
Katalis “Merah Putih” tersebut dikembangkan Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalis atau TRKK (Laboratory of Catalysis and Reaction Engineering atau CARE) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Setelah melalui proses reaksi, dihasilkan green diesel yang diberi istilah D100. Green diesel atau diesel nabati murni itu lebih unggul dari solar fosil (diesel oil) maupun biodiesel berbasis FAME.
Antara lain Cetane Number (Angka Setana) D100 relatif lebih tinggi dari solar fosil, kandungan sulfur D100 lebih rendah, stabilitas oksidasi D100 lebih baik, dan D100 berwarna lebih jernih.
Angka Setana menunjukkan kualitas pembakaran di ruang bakar (ignition quality) mesin diesel. Semakin tinggi Angka Setana semakin sempurna pembakaran dan membuat kinerja mesin diesel lebih efisien.
Di Indonesia, diesel atau solar yang dipasarkan mempunyai Angka Setana minimal 48 dan 51.
Biosolar mempunyai Angka Setana 48 dengan kandungan sulfur sekitar 3.500 ppm (part per million).
Dexlite (solar fosil) mempunyai Angka Setana 51 dengan kandungan sulfur 1.200 ppm. Secara kualitas, Dextlite lebih baik dari biosolar.
Tapi kualitas Dextlite kalah dengan Pertamina Dex (solar fosil) yang mempunyai Angka Setana 53 dengan kandungan sulfur di bawah 300 ppm.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkontribusi dalam mendukung biaya pengembangan green diesel, yang mempunyai Angka Setana lebih tinggi dari solar fosil.
Tapi perlu diketahui, Angka Setana tinggi belum tentu memberikan tenaga yang lebih, efisiensi bahan bakar yang lebih, atau pengurangan emisi yang lebih pada mesin diesel.
Meskipun ada beberapa mesin diesel berkinerja tinggi direkomendasikan menggunakan diesel dengan Angka Setana mencapai 60.
Jadi, ada kemungkinan green diesel dicampur dengan solar fosil untuk mendapatkan Angka Setana minimal 48, 51 atau 53.
Bioavtur berbahan kelapa sawit
Bioavtur diolah dari minyak inti sawit (palm kernel oil atau PKO). Setelah PKO disuling dan dijernihkan diperoleh RBDPKO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Kernel Oil).
RBDPKO tersebut dituangkan ke dalam kilang PT Pertamina (Persero). Dengan menambahkan katalis “Merah Putih” ke dalam kilang tersebut, maka terjadi reaksi yang menghasilkan bioavtur.
Kemudian campuran bioavtur 2,4% dan avtur (aviation turbine) fosil 97,6% menghasilkan bioavtur 2,4% atau disebut J2.4.
Dengan bahan bakar bioavtur J2.4, pesawat CN 235 Flying Test Bed (FTB), milik PT Dirgantara Indonesia, terbang dari Bandung ke Jakarta pada Rabu, 6 Oktober 2021.
Dari pengujian terbang tersebut, performa bioavtur sudah optimal. Perbedaan kinerja bioavtur dengan avtur fosil sekitar 0,2-0,6%.
Lagi-lagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkontribusi dalam mendukung biaya pengembangan bioavtur.
Green jet avtur berbahan kelapa sawit
Selain bioavtur, ada juga green jet avtur (avtur nabati murni) yang berbahan baku RBDPKO.
Green gasoline dan LPG berbahan kelapa sawit
Green gasoline atau bensin biohidrokarbon diolah dari RBDPO, yang dimasukkan ke dalam kilang PT Pertamina (Persero). Dengan menambahkan katalis “Merah Putih” terjadi reaksi di kilang tersebut.
Dari reaksi tersebut, dihasilkan green gasoline sebanyak 50-60% dari total RBDPO yang diolah. Selain itu dihasilkan juga LPG (Liquified Petroleum Gas), yang mirip dengan gas LPG fosil.
Bensin super yang dihasilkan tersebut mempunyai Research Octane Number (RON) atau biasa disebut Octane Number (ON) atau Angka Oktan 110. Setara dengan Angka Oktan minyak pesawat terbang yang 100/130.
Bensin dengan Angka Oktan 110 itu biasa digunakan untuk bahan bakar kendaraan balap Formula 2 (F2). Di Indonesia ada yang namanya Pertamax Racing dengan Angka Oktan di atas 100.
Bandingkan dengan Angka Oktan Pertamax Turbo yang 98, Pertamax 92, Pertalite 90, dan Premium 88.
Karena itulah, agar green gasoline, yang dikenal dengan G100, bisa digunakan kendaraan maka perlu dicampur dengan bensin (gasoline) fosil untuk menghasilkan bensin Pertamax dengan Angka Oktan 92.
Lagi-lagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkontribusi dalam mendukung biaya pengembangan green gasoline.
Biomassa dari kelapa sawit
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga berkontribusi dalam mendukung biaya pengembangan biomassa kelapa sawit menjadi energi.
Selama ini, biomassa sawit diolah menjadi bahan bakar, mulsa, dan pupuk. Biomassa sawit diolah menjadi biobatubara untuk bahan bakar pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan.
Jepang dan Korea Selatan merupakan contoh negara yang menggunakan energi baru terbarukan dari bomassa sawit.
Limbah cair kelapa sawit (LCKS) dari proses pengolahan CPO dan PKO, dapat diolah menjadi biogas melalui teknik penangkapan gas metana.
Nah, sudah saatnya biomassa kelapa sawit menjadi perhatian pemerintah untuk mengembangkan energi baru terbarukan.
Nomenklatur bahan bakar nabati
Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berbahan baku organik, sedangkan BBN atau biofuel merupakan salah satu energi yang dihasilkan dari bahan baku bioenergi dengan teknologi tertentu.
Di sini AGRIKAN.ID memapaparkan beberapa nomenklatur bahan bakar nabati (BBN) agar kita mempunyai persepsi yang sama.
- Biodiesel, FAME, B30, B40, dan B100
- Green diesel, diesel biohidrokarbon, diesel nabati murni, atau D100
- Bioavtur, biojet, jet biofuel, J2.4, green jet avtur, avtur nabati murni, atau J100
- Green gasoline, bensin biohidrokarbon, bensin nabati murni, atau G100
- Bioetanol, E5, dan E100
Biodiesel, FAME, B30, B40, dan B100
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester atau FAME) untuk aplikasi mesin atau motor diesel.
FAME tersebut terbuat dari lemak nabati atau lemak hewani yang diolah melalui proses esterifikasi atau transesterifikasi. Di Indonesia, FAME banyak diolah dari minyak sawit (CPO).
B30 merupakan mandatori biodiesel, yaitu campuran FAME 30% dan minyak solar fosil (diesel oil) 70%.
B40 merupakan biodiesel yang sedang dikembangkan di Indonesia. B40 ini merupakan campuran FAME 30%, DPME (distilled palm oil methyl ester) 10%, dan solar fosil (diesel oil) 60%.
Alternatif lain, B40 merupakan campuran FAME 30%, HVO (hydrogenated vegetable oil) 10%, dan solar fosil (diesel oil) 60%.
B100 merupakan biodiesel murni, yang 100% terdiri dari FAME, yang memenuhi syarat mutu sebagai pencampur minyak diesel dengan kadar sesuai peraturan yang berlaku.
Green diesel, diesel biohidrokarbon, diesel nabati murni, atau D100
Green diesel atau diesel biohidrokarbon atau diesel nabati murni atau D100 merupakan minyak hidrokarbon tanpa kandungan oksigenat untuk bahan bakar mesin diesel putaran tinggi.
Green diesel ini diolah dari bahan nabati, salah satunya RBDPO, melalui teknologi proses tertentu, salah satunya dengan deoksigenisasi.
Bioavtur, biojet, jet biofuel, J2.4, green jet avtur, avtur nabati murni, atau J100
Bioavtur atau biojet atau jet biofuel atau green jet avtur atau avtur nabati murni merupakan bahan bakar alternatif untuk pesawat terbang bermesin turbin.
Bahan baku bioavtur adalah bahan nabati, salah satunya RBDPKO, yang diolah melalui berbagai teknologi proses tertentu.
J2.4 merupakan campuran bioavtur 2,4% dan avtur fosil 97,6%. Sementara green jet avtur atau avtur nabati murni atau J100 merupakan avtur nabati tanpa campuran avtur fosil.
Green gasoline, bensin biohidrokarbon, bensin nabati murni, atau G100
Green gasoline atau bensin biohidrokarbon atau bensin nabati murni atau G100 merupakan salah satu jenis bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor roda dua, tiga, atau empat.
Bahan baku green gasoline adalah bahan nabati, salah satunya RBDPO, yang diolah melalui berbagai teknologi proses tertentu.
Secara sederhana, bensin nabati murni tersebut tersusun dari rantai karbon lurus, mulai dari C5 sampai C11 dengan Angka Oktan minimal 90.
Bioetanol, E5, dan E100
Bioetanol merupakan etanol atau etil alkohol yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubikayu, ubijalar, jagung, sorgum, beras, ganyong, dan sagu.
Bahan baku lainnya adalah tanaman atau buah yang mengandung gula seperti tebu, nenas, pepaya, dan anggur. Bisa juga dari bahan berserat (selulosa) seperti sampah organik dan jerami padi.
Bioetanol yang dapat dicampur dengan bensin (gasoline) harus berkadar 99,6-99,8%, yang dikategorikan sebagai full grade ethanol (FGE) sesuai dengan standar PT Pertamina (Persero).
E5 merupakan campuran bioetanol 5% dan bensin fosil 95%. Sementara E100 merupakan bahan bakar dengan bioetanol 100%.
Selama ini program mandatori bioetanol kurang berjalan dengan baik karena harga keekonomian bioetanol lebih mahal dari bensin (gasoline) fosil.
Sebenarnya harga indeks pasar (HIP) biodiesel juga lebih tinggi dari HIP solar fosil, tetapi selisih HIP itu dibayar BPDPKS, yang dananya bersumber dari pungutan ekspor sawit dan produk turunannya.
Seandainya minyak sawit (CPO) atau minyak inti sawit (PKO) juga bisa diolah menjadi bioetanol, maka kelapa sawit benar-benar menjadi sumber bahan bakar nabati yang banyak tersedia di Indonesia.
Indonesia raja bahan bakar nabati
Luas lahan kebun kelapa sawit di Indonesia sekitar 16,38 juta ha, yang terdiri dari milik petani sekitar 41%, negara (Badan Usaha Milik Negara atau BUMN) 6%, dan pengusaha swasta besar 53%.
Diperkirakan pada tahun 2020 produksi minyak sawit (CPO) Indonesia sekitar 48,3 juta ton dan minyak inti sawit (PKO) sekitar 9,6 juta ton.
Sebagai produsen minyak sawit, pangsa produksi sawit Indonesia di dunia pada tahun 2020 sekitar 58%, lalu diikuti Malaysia 26%, Thailand 4%, Kolumbia 2%, Nigeria 2%, dan lainnya 8%.
Presiden Jokowi sangat mendorong pengembangan dan penerapan bahan bakar nabati berbahan kelapa sawit di Indonesia. Sebab, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)-nya sangat tinggi.
Untuk itulah pemerintah mendorong pembangunan pabrik katalis “Merah Putih”, buah karya Laboratorium TRKK ITB, yang sangat diperlukan dalam proses produksi BBN berbahan kelapa sawit.
ITB berpatungan dengan PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Kujang, dan PT Pupuk Iskandar Muda. Pabrik katalis dengan investasi sekitar Rp 150 miliar itu rencananya akan dibangun di Cikampek, Jawa Barat.
Boleh jadi, keseriusan mengembangkan dan menerapkan bahan bakar nabati berbahan kelapa sawit itu bisa membuat Indonesia menjadi raja bahan bakar nabati di dunia untuk transportasi.
Dalam pengembangan bioenergi berbahan kelapa sawit itu, Indonesia menerapkan konsep triple helix, yaitu kolaborasi antara akademisi (perguruan tinggi), bisnis (industri), dan pemerintah.
Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com