1,8-cineol dalam minyak atsiri eukaliptus bisa sebagai antivirus dan pencegah Covid-19.
Tanaman Eucalyptus sp. Sumber: upload.wikimedia.org.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengelompokkan obat bahan alam Indonesia terdiri atas tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia identik dengan Negeri Tanaman Obat. Dari sekitar 40 ribu tanaman obat di dunia, sekitar 30 ribu di antaranya tumbuh di Indonesia.

Dari jumlah tanaman obat tersebut, yang telah diidentifikasi dan digunakan untuk kepentingan medis sekitar 7.000.

Salah satu tanaman yang sedang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat adalah Eucalyptus sp. Minyak atsiri (essential oil) tanaman ini, yang disebut Eucalyptol, mengandung 1,8-cineol.

Di antara 700 spesies eukaliptus, yang kandungan 1,8-cineol dalam minyak atsirinya yang paling tinggi adalah spesies Eucalyptus globulus, yaitu rata-rata 80%.

Kadar kandungan 1,8 cineol dalam minyak atsiri E. globulus juga berbeda-beda. Yang tumbuh di Australia kandungannya 81,1 – 90%, Montenegoro 85,8%, Italia 84,9%, dan Indonesia 86,5%.

Antivirus dan pencegah Covid-19

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian, telah melakukan uji praklinis (pada tingkat sel atau hewan percobaan) khasiat 1,8-cineol sebagai antivirus dan pencegah Covid-19.

Awal Juli lalu BPOM telah mengeluarkan izin produksi dan izin edar produk yang mengandung 1,8-cineol sebagai jamu herbal.

Sediaan yang mengandung 1,8-cineol ini berupa sediaan topikal (konsumsi luar), yaitu minyak oles, balsem, inhaler, aromaterafi, dan roll-on. Bukan sediaan oral (konsumsi melalui mulut).

Dengan penandatangan kesepakatan (MoU) Balitbangtan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Rabu, 8 Juli 2020, Kementerian Pertanian menyerahkan hasil penelitian tersebut kepada IDI untuk melakukan uji klinis.

Jika nanti terbukti 1,8-cineol berkhasiat sebagai antivirus dan pencegah Covid-19, penyakit yang disebabkan Sars-Cov-2, maka hasil penelitian Balitbangtan tersebut akan menjadi fitofarmaka.

Jamu

Jamu adalah bahan alam yang sediaannya masih berupa simplisia sederhana seperti irisan rimpang, akar, kulit, dan daun kering. Atau bisa juga berupa bubuk. Khasiatnya baru terbukti secara empiris berdasarkan penglaman turun-temurun. Belum dibuktikan secara ilmiah.

Jamu mempunyai kriteria:

  • Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  • Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
  • Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
  • Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata- kata, ”Secara tradisional digunakan untuk ….…”.

Contoh jamu bermerek yang beredar di Indonesia:

  • Kuku Bima
  • Pegal Linu
  • Gemuk Sehat
  • Tolak Angin
  • Tuntas
  • Rapet Wangi
  • Kuldon 
  • Strong Pas
  • Tolak Angin
  • Antangin Mint
  • Antangin Jahe Merah
  • Darsi
  • Enkasari
  • Batugin Elixir
  • ESHA
  • Buyung Upik
  • Susut Perut
  • Selangking Singset
  • Herbakof
  • Curmino

Untuk mengetahui apakah obat bahan alam yang Anda konsumsi tergolong jamu, dapat dilihat pada logo jamu yang tertera pada kemasan.

Perhatikan logo jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka sebagai panduan dalam mengonsumsi obat bahan alam Indonesia.
Logo fitofarmaka, logo jamu, dan logo obat herbal terstandar (OHT). Sumber: health.detik.com.

Obat Herbal Terstandar

Obat herbal terstandar (OHT) merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral.

Pada OHT telah diteliti khasiat dan keamanannya melalui beberapa uji pra klinis. Yaitu uji penerapan standar kandungan bahan, proses pembuatan ekstrak, uji higienitas, dan uji toksisitas (keracunan).

OHT mempunyai kriteria:

  • Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  • Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinis (pada hewan percobaan).
  • Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
  • Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Contoh OHT yang beredar di Indonesia:

  • Antangin JRG
  • OB Herbal
  • Mastin
  • Lelap
  • Diapet

Kalau diperhatikan dari definisi dan kriteria OHT, maka produk yang mengandung 1,8-cineol yang diteliti Balitbangtan, Kementerian Pertanian, yang bisa sebagai antivirus dan pecegah Covid-19, tergolong OHT. Dari izin produksi dan izin edar BPOM, digolongkan sebagai jamu herbal.

Untuk mengetahui apakah obat bahan alam yang Anda konsumsi tergolong OHT, dapat dilihat pada logo OHT yang tertera pada kemasan.

Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah. Pembuktian ini melalui uji praklinis (pada hewan) dan uji klinis (pada manusia).

Selain itu bahan baku dan produk jadinya telah terstandardisasi sehingga khasiatnya konsisten sesuai dengan dosisnya.

Fitofarmaka mempunyai kriteria:

  • Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  • Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia).
  • Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
  • Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
  • Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.

Contoh fitofarmaka yang beredar di Indonesia:

  • Stimuno
  • Tensigard
  • Xgra
  • Nodiar
  • Inlacin
  • VipAlbumin Plus
  • Rheumaneer

Untuk mengetahui apakah obat bahan alam yang Anda konsumsi tergolong fitofarmaka, dapat dilihat pada logo fitofarmaka yang tertera pada kemasan.

Perbedaan jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

Produk yang diklaim sebagai antivirus dan pencegah Covid-19, yang mengandung 1,8-cineol, hasil penelitian Balitbangtan, Kementerian Pertanian, akan dilakukan uji klinis (pada manusia).

Uji klinis dilakukan dalam empat fase:

  1. Fase I. Pengujian dilakukan pada sukarelawan sehat untuk membuktikan apakah 1,8-cineol aman dikonsumsi manusia. Waktu yang diperlukan sekitar 1 bulan.
  2. Fase II. Pengujian dilakukan pada pasien (penderita Covid-19) dalam jumlah terbatas, baik dengan pembanding maupun tanpa pembanding. Di sini untuk membuktikan efikasi atau khasiat 1,8-cineol sebagai antivirus dan pencegah Covid-19. Waktu yang diperlukan sekitar 2 bulan.
  3. Fase III. Uji klinis definitif. Uji ini untuk membuktikan dosisnya: dosis maksimal, dosis terapeutik, dosis toksik, dan dosis letal (kematian). Waktu yang diperlukan sekitar 3 bulan.
  4. Fase IV. Uji pasca pemasaran untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya. Di sini diperlukan waktu 3 bulan. Fase IV ini dapat dilakukan bersamaan dengan uji fase III.

Kalau berjalan lancar dan uji klinis dimulai Agustus 2020, maka pada Januari 2021 sudah bisa diketahui apakah 1,8-cineol terbukti sebagai antivirus dan pencegah Covid-19 atau tidak.

Jika terbukti, maka hasil penelitian Balitbangtan, Kementerian Pertanian, meningkat statusnya menjadi fitofarmaka. Hal ini akan mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia.

Paling tidak, pada era Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Presiden Jokowi, telah lahir  fitofarmaka antivirus dan pencegah Covid-19 dari 1,8-cineol eukaliptus. Sebuah terobosan.

Setelah mendapat izin produksi dan izin edar BPOM sebagai fitofarmaka, obat bahan alam ini dapat digunakan masyarakat Indonesia dan dunia sebagai antivirus dan pencegah Covid-19.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com

Referensi:

  1. Parwata, I Made Oka Adi. 2016. Obat Tradisional. Denpasar: Jurusan Kimia, Laboratorium Organik FMIPA, Universitas Udayana.
  2. Hussaana, Atina. Tanpa tahun. Metode Penelitian Uji Klinik Fitofarmaka. Bagian Farmakologi, FK Unissula.
  3. https://klikfarmasi.net/lebih-dekat-dengan-jamu-oht-dan-fitofarmaka.html.
  4. http://farmasi.ugm.ac.id/id/pentingnya-mengenal-kembali-jenis-obat-tradisional-pada-masa-pandemik-covid-19.