Di masa-masa itu, banjir dinantikan sebagai pembawa berkah.

Di kampungku, di pedalaman Labuhan Batu, Sumatra Timur, air banjir senantiasa meninggalkan lapisan lumpur kaya unsur hara yang membangun tanah aluvial sepanjang daerah aliran sungai.

Melanggengkan kesuburan tanah untuk ditanami. Tanpa harus repot menambahkan pupuk buatan untuk memastikan kesuburannya.

Berbilang masa menyuburkan pohon-pohon durian Atok Roki yang berusia mungkin sudah seabad. Menyuburkan pohon-pohon langsat, pohon rambai, bargot (enau), bambu, pisang, kopi yang tumbuh di sepanjang pinggiran sungai; juga kebun sayuran Omak.

Untukku, banjir membawa berkah yang lain lagi.

Air banjir lazimnya mencapai daerah-daerah rendahan di sudut-sudut ladang kami. Lidah airnya menjilati sudut-sudut ladang tempat Omak bercocok-tanam sayur-sayuran.

Manakala banjir sudah menenggelamkan guludan tanaman kangkung, aku menyaksikan pemandangan: ujung-ujung pucuk kangkung yang menjulur menggapai permukaan air nampak bergetar tak lama kemudian tenggelam.

Bergetar karena ada ikan mengerat batangnya, setelah terputus lalu ditariknya sehingga tenggelam, dan mulailah disantapnya.

Kejadian ini jadi isyarat bagiku, di sekitaran tanaman kangkung yang terendam itu banyak ikan berkeliaran mencari makan. Mungkin mereka dari keluarga tilapia, sehingga senang makan daun-daunan.

Pendek cerita, kuturunkanlah kail berumpan cacing ke tempat tadi kangkung dikerat dan ditarik tenggelam. Rasanya baru dua atau tiga kali sepenarikan napas, kailku sudah disentapkan ikan.

Aha, dapatlah ikan pertama. Sisiknya kemilau berwarna-warni perak dan keemasan. Lebar badannya seukuran lebar tiga jari tangan orang dewasa. Panjangnya tak sampai sejengkal, hanya serentangan ujung ibu jari dengan ujung telunjuk. Kami menamainya ikan cencen. Belakangan dari buku biologi kuketahui nama ilmiahnya: Mystacoleucus marginatus.

Semenjak sentapan (strike) yang pertama itu, bertubi-tubilah sentapan berikutnya.

Untung di gubug Omak menyimpan ember besar bekas tempat cat yang biasa dipakainya untuk tempat air menyiram tanaman kalau sedang kemarau. Ember itu kuisikan setengahnya dengan air lalu kumasukkan ikan-ikan itu ke dalamnya. Supaya tidak meloncat keluar, di atas air itu kuletakkan ranting-ranting berdaun dari batang senduduk (Melastoma malabathricum).

Banjir dalam Kenangan Seorang Anak Kampung
Widjaya Harahap. Sumber: Dokumentasi Widjaya Harahap

Saking asyiknya menikmati sensasi mengangkat joran pancing menyusul sentapan ikan cencen, tak teringat lagi sudah berapa lama aku memancing.

Matahari sudah condong ke Barat dan sinarnya tak terasa panas menyengat lagi, ketika Bapak menghampiri dan menyuruhku berhenti dan pulang.

Syukurlah Bapak datang, kalau tidak aku takkan kuasa mengangkat ember berisi ikan ini dan membawanya pulang.

Di dapur Bapak menghitung jumlah ikan yang kudapat: 92 ekor. Semuanya ikan cencen. Itulah catatan rekor terbanyak ikan yang pernah kupancing seumur hidupku hingga hari ini.

Kulihat berseri-seri wajah Bapakku ketika menyudahi hitungannya.

Akan halnya Omak, dengan wajah garang dan suara tinggi beliau memanggilku:

“Buyung!”

Belum lagi aku mendekat benar, cubitannya sudah menyambar pahaku. Tak cukup hanya meringis dan mengaduh, aku sampai bersijingkat menanggungkan rasa sakitnya.

Lalu mengguntur suaranya:

“Kau pikir aku senang lantaran kau dapat ikan banyak. Gara-gara itu kau lupa makan, tak sembahyang Lohor. Tengok hidungmu itu, biram terbakar matahari.”

“Mandiii!!!”

Aku pun beringsut menjauh pergi, bagaikan kucing diancam sapu lidi.

9 Februari 2020 | Widjaya Harahap

(Widjaya Harahap dibesarkan dalam keluarga sangat sederhana dan bersaudara banyak di sebuah kota kecil di pedalaman Sumatra Timur. Tumbuh di zaman yang belum banyak tersentuh kemajuan teknologi, menjadikan kehidupan masa kecilnya lebih banyak akrab dengan lingkungan alam sekitar.

Alam yang masih asri belum banyak tereksploitasi menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak habis-habisnya untuk dijelajahi bahkan oleh seorang anak yang berjiwa paling petualang sekalipun).