Petani padi Maftukin
Maftukin di gerbang IRRI, Los Banos, Filipina. Sumber: Majalah AGRINA.

Siapa bilang bertani padi itu tidak menjanjikan. Mari kita tengok Maftukin. Petani padi di Desa Pangean, Kecamatan Maduran, Lamongan, Jawa Timur, ini bisa menghasilkan padi sekitar 10 ton gabah kering panen (GKP)/hektar/musim tanam.

“Setahun saya bisa nanam tiga kali,” kata kelahiran Lamongan, 12 Juli 1974, ini kepada AGRINA di New World Makati Hotel, Filipina.

Maftukin merupakan salah satu peserta Regional Farmer Panel pada Plant Science Seminar, 14-15 November 2017, yang diselanggarakan CropLife Asia.

Selain Maftukin, ada juga Rosalie Ellasus, petani dari Filipina, Eric Wong, petani dari Malaysia, dan Hoang Trong Ngai, petani dari Vietnam.

Mereka berdiskusi peran teknologi dalam menghadapi kekeringan dan kebanjiran.

Menurut suami Maftukhah itu, bertani lima tahun yang lalu berbeda dengan dua tahun terakhir. Kalau bertanam padi lima tahun lalu, hampir dipastikan 75-85% bisa panen, tetapi dua tahun terakhir, tidak bisa diprediksi seperti itu.

“Kita ada kemungkinan tetap gagal panen,” kata ayah tiga anak itu. Lho kok bisa? “Karena pengaruh cuaca, hama penyakit semakin banyak,” katanya.

Ya, karena perubahan iklim. Kadang kekeringan kadang kebanjiran. Pada perubahan iklim ini biasanya banyak sundep (penggerek batang), blas daun ataupun potong leher.

“Di tempat saya sekarang rintik-rintik. Mendung nggak hujan. Besoknya panas, dua hari lagi gerimis, tapi nggak sampai hujan deras. Itu kan memicu datangnya hama dan penyakit,” kata lelaki yang kalem ini.

Sebagai orang yang menekuni bertani dengan modal sendiri sejak 1992 ini, ia berpengalaman dalam memantau tanaman padinya. Ia rutin memantau tanaman padi di sawah, apakah sudah waktunya melakukan aplikasi pestisida atau belum dalam mengatasi hama dan penyakit tanaman.

Pandai memilih pestisida

Jika ada serangan hama dan penyakit, Maftukin pandai-pandai mengaplikasikan pestisida.

Kalau serangan wereng terjadi pada masa vegetatif, anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Husein (almarhum) dan Hj. Umiyah ini memilih mengaplikasikan Confidor.

Jika serangan wereng terjadi pada masa primordia (bunting muda), ia mengaplikasikan Plenum atau Tenchu.

Jika ada serangan sundep (penggerek batang) dan masih dalam kondisi normal, ia memilih mengaplikasikan Belt Expert.

Jika serangan sudah mulai terasa di atas ambang batas, ia memilih menggunakan Endure. Tetapi kalau serangan sudah mulai parah banget, ia memakai Prevathon.

Jadi, “Penggunaan pestisida itu disesuaikan dengan situasi,” kata Muftakin. Di sinilah, katanya, sebagai petani, ia harus terus-menerus memantau keadaan tanaman padi di lapangan.

“Dua atau tiga hari sebelum aplikasi (pestisida), saya sudah melakukan pengamatan di lapangan, pestisida apa yang sebaiknya saya aplikasikan. Kita harus pandai-pandai memilih pestisida,” katanya.

Selain itu, katanya, aplikasi pestisida itu harus tepat waktu. Misalnya menurut jadwal, pestisida  harus dilakukan 10-15 HST (hari setelah tanam), maka aplikasi dilakukan pada umur tersebut.

“Jangan sampai aplikasinya dilakukan kurang dari 10 HST atau lebih dari 15 HST,” katanya.

Begitu juga dalam penggunaan pupuk, dilakukan tepat waktu. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 15 HST, yaitu satu kwintal urea dan satu kwintal NPK Phonska/hektar.

Pemupukan kedua dilakukan umur 25-30 HST dengan satu kwintal NPK Phonska dan satu kwintal SP 36.

Kemudian Maftukin terus melakukan pengamatan. Jika tanamannya sehat, berwarna hijau, dan kokoh, ia memberikan 70 kg pupuk KCl/hektar pada saat tanaman padi berumur 40 HST.

“Pemberian KCl ini bisa membuat pengisian padi menjadi maksimal,” katanya kepada AGRINA.

Pengisian bulir padi

Pada umur 55 HST dan 65 HST, Maftukin kembali memberikan nutrisi MKP (Mono Kalium Phosphate) cap Kapal Terbang masing-masing 2 kg/ha. Pada saat yang sama, diberikan juga Folicur, boster padi masing-masing satu botol (250 ml).

Folicur ini bisa membuat daun bendera lebih sehat sehingga pengisian bulir padi menjadi maksimal. Daun bendera ini tempat memasak padi. “Kalau daun benderanya bagus, Insya Allah pengisian bulir padinya maksimal,” paparnya.

Maftukin merupakan salah satu petani yang sangat adaptif dengan teknologi, baik itu pupuk maupun pestisida.

“Karena saya yakin, perusahaan pestisida itu menghasilkan produk yang tujuannya untuk memberikan keuntungan kepada petani. Nggak mungkin merugikan petani. Petani  kan mitranya. Tapi yang namanya perusahaan juga ingin mencari keuntungan,” katanya.

Karena itu, selama ini, Maftukin selalu terbuka dengan perusahaan apa saja, asalkan perusahaan itu bisa memberikan keuntungan kepada petani.

“Selama ini saya selalu terbuka dengan perusahaan apa saja. Saya nggak membatasi. Tetapi kalau mau demplot di tempat saya, maka saya yang mengatur. Setiap demplot bisa dijadikan pelajaran untuk petani binaan saya,” katanya.

Maftukin tergabung dalam Gapoktan Sekar Sari yang beranggotakan 227 orang. Tetapi yang menjadi petani binaannya sebanyak 20 orang atau 20 hektar. “Mula-mula yang yang saya bina 7 orang. Karena hasilnya bagus (mendekati 10 ton GKP/hektar), maka 13 orang ikut,” paparnya.

Sebagai petani yang maju, ia rakus teknologi atau sesuatu yang baru, termasuk golden rice, hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI), Los Banos, Filipina.

Pada 15 November 2017, Maftukin bersama rombongan CropLife Asia berkunjung ke lembaga penelitian padi tingkat dunia itu.

Golden rice itu bagus karena padinya mengandung vitamin A yang kita butuhkan,” kata Maftukin ketika bertandang ke IRRI. “Golden rice  itu nilai jualnya bisa tinggi,” katanya.

Golden rice adalah hasil penelitian rekayasa genetik atau bioteknologi IRRI sehingga padi bisa mengandung vitamin A.

“Bioteknologi penting bagi saya. Dari tahun ke tahun, lahan pertanian  semakin sempit. Jumlah penduduk bertambah. Hama dan penyakit (padi) semakin banyak dan komplek. Belum lagi perubahan iklim. Bioteknologi mungkin bisa membantu petani,” katanya.

Jajar legowo

Maftukin mengelola lahan sendiri 0,5 hektar, lahan mertuanya 1 hektar, dan lahan orang tuanya 1 hektar. Totalnya 2,5 hektar.

Ia menanam padi varietasi Ciherang. “Ciherang itu nasinya pulen. Berasnya mengkilat. Bentuknya lonjong. Dalam menanam padi saya tetap lihat pasar,” katanya.

Selain pemupukan dan perawatan, untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi, ia menanam padi dengan sistem jajar legowo. Jarak tanam antar baris 25 cm, jarak tanam dalam baris 10 cm, dan jarak legowonya (atau jarak setiap dua baris) 40 cm.

Dengan jajar legowo seperti ini, populasi tanamannya 400.000. Produktivitasnya lebih dari 10 ton GKP/hektar/musim tanam.

Dengan harga jual Rp 5.200 per kg GKP, setiap musim tanaman ia bisa mengantongi omzet Rp 52 juta/hektar/musim tanam. Dikurangi dengan biaya sekitar Rp 12 juta/hektar/musim tanam, ia bisa mengantongi keuntungan sekitar Rp 40 juta.

“Saya tetap berharap, ada anak saya yang mau melanjutkan bertani karena saya anggap bertani (padi) masih tetap menjanjikan,” kata Maftukin.

Anak pertamanya, Anisatun Faizah, lulusan Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Bogor memilih menjadi guru.

Maftukin berharap kelak anak keduanya, Zahrotun Nisa, atau anak ketiganya, Kayysa Ilmi Rafanda, mengkuti jejaknya untuk bertani.

“Dengan dukungan teknologi, saya berharap banyak anak muda untuk bertani (padi),” katanya.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah AGRINA edisi 182