Kandungan vitamin A dan vitamin E minyak sawit dapat berperan sebagai antioksidan untuk mengatasi radikal bebas, penyebab kanker.
Minyak sawit diekstraksi dari daging buah, sedangkan minyak inti sawit diekstraksi dari biji inti sawit.

Minyak sawit pemicu kanker itu mitos, bukan fakta. Mitos adalah isu, opini, pandangan, tuduhan dan sejenisnya. Fakta merupakan bukti empiris berdasarkan pelbagai hasil penelitian.

Tetapi sebelum melanjutkan cerita mitos versus fakta minyak sawit pemicu kanker, marilah kita pahami dulu apa itu minyak sawit (palm oil).

Minyak sawit diesktraksi dari daging buah sawit (mesocarp), sedangkan minyak inti sawit (palm kernel oil atau PKO) diekstraksi dari biji inti sawit (palm kernel).

Minyak goreng sawit maupun mentega yang dipasarkan berasal dari minyak sawit, bukan dari minyak inti sawit.

Jadi beda ya minyak sawit dan minyak inti sawit.

Minyak inti sawit banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid), sedangkan minyak sawit banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid).

Baca juga: Wujudkan dan Terapkan SNI ISPO

Jadi, minyak sawit, baik berupa minyak goreng maupun mentega, tidak sama dengan minyak kelapa (coconut oil) maupun minyak nabati dari biji (seed).

Sementara minyak inti sawit memang hampir mirip dengan minyak kelapa.

Minyak sawit pemicu kanker itu mitos

Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan sel-sel yang tidak terkendali (ganas) yang dapat menyerang sel-sel yang normal.

Selama ini kita mengenal penyebab kanker antara lain radiasi, virus, bahan kimia, dan sebagainya.

Teori terakhir menyatakan, kanker itu disebabkan oleh radikal bebas di dalam tubuh.

Jika kadar radikal bebas di dalam tubuh lebih banyak dari yang dapat dinetralkan, maka terjadi stres oksidatif. Dalam kondisi stres oksidatif ini bisa memicu penyakit kanker.

Karena itulah, salah satu cara mengatasi supaya tidak terkena penyakit kanker dengan cara  meniadakan atau meminimalkan radikal bebas di dalam tubuh.

Nah, apakah benar minyak sawit itu pemicu penyakit kanker seperti mitos selama ini?

Faktanya tidak. Minyak sawit bukan pemicu penyakit kanker seperti disangkakan selama ini.

Baca juga: Minyak Goreng Sawit Berekolabel

Dari pelbagai penelitian, mengonsumsi minyak sawit justru dapat menekan perkembangan sel-sel kanker, mengendalikan pertumbuhan sel-sel kanker, dan mencegah penyakit degeneratif lainnya.

Kok bisa? Sebab minyak sawit mengandung antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas.

Antioksidan merupakan zat yang dapat mencegah kerusakan atau kematian sel-sel, kerusakan DNA (deoxyribonucleic acid), dan timbulnya sel-sel kanker akibat radikal bebas.

Apa saja antioksidan yang terdapat dalam minyak sawit? Yaitu betakaroten (prekursor vitamin A) dan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol).

Kandungan betakaroten di dalam minyak sawit

Minyak sawit banyak mengandung betakaroten, yaitu antioksidan dan prekusor vitamin A.

Kandungan vitamin A minyak sawit merah lebih tinggi dari kandungan vitamin A dari bahan-bahan makanan yang dianggap sumber vitamin A seperti jeruk, pisang, tomat, dan wortel.

Kandungan vitamin A dalam minyak sawit merah (refined) sekitar 5.000 µg setara retinol per 100 gram (edible, bagian yang dapat dimakan).

Baca juga: Sawit Lokomotif Perekonomian Nasional

Kandungan vitamin A dalam minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) sekitar 6.700 µg setara retinol per 100 gram (edible).

Mengonsumsi minyak sawit dapat menekan perkembangan sel-sel kanker serta menurunkan dan mengendalikan pertumbuhan sel-sel kanker.
Kebun kelapa sawit.

Bandingkan dengan kandungan vitamin A di dalam jeruk 21 µg setara retinol per 100 gram (edible), pisang 50 µg, tomat 130 µg, dan wortel 400 µg.

Kandungan vitamin E dalam minyak sawit

Vitamin E bermanfaat sebagai antioksidan, antipenuaan dini, untuk kesehatan kulit, kesuburan reproduksi, mencegah aterosklerosis, antikanker, dan meningkatkan imunitas (kekebalan tubuh).

Aterosklerosis merupakan penyempitan dan pengerasan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak pada dinding pembuluh darah tersebut.

Kandungan vitamin E di dalam minyak sawit lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya.

Kandungan vitamin E minyak sawit sekitar 1.172 ppm. Bandingkan dengan minyak kedelai yang 958 ppm, minyak jagung 782 ppm, minyak biji kapas 776 ppm, minyak bunga matahari 546 ppm, minyak kacang tanah 367 ppm, minyak zaitun 51 ppm, dan minyak kelapa 36 ppm.

Selain itu, vitamin E minyak sawit mengandung 20% tokoferol dan 80% tokotrienol.

Minyak nabati lain seperti minyak jagung, zaitun, kedelai, dan bunga matahari adalah sumber tokoferol yang baik, tetapi minyak nabati tersebut tidak mengandung tokotrienol.

Tokotrienol bekerja lebih cepat sebagai antioksidan dibandingkan dengan tokoferol.

Bagi industri farmasi, minyak sawit merupakan sumber bahan vitamin E. Melalui proses ekstraksi, kemudian vitamin E diproduksi dan dikemas dalam bentuk kapsul.

Dengan demikian, perkebunan sawit merupakan “pabrik biologis” vitamin E.

Suatu saat, Indonesia bukan saja sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, tetapi juga penghasil vitamin E terbesar di dunia.

Dengan kandungan vitamin A dan vitamin E yang tinggi di dalam minyak sawit, maka adalah mitos jika minyak sawit disangka sebagai pemicu penyakit kanker.

Sebagai antioksidan, vitamin A dan vitamin E dapat menangkal radikal bebas di dalam tubuh.

Dengan demikian, minyak sawit yang banyak mengandung vitamin A dan vitamin E, bukan pemicu penyakit kanker.

Menurut hasil penelitian, mengonsumsi minyak sawit justru dapat menekan perkembangan sel-sel kanker serta menurunkan dan mengendalikan pertumbuhan sel-sel kanker.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com

Referensi:

  1. Sipayung, Tungkot. 2017. Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia. Edisi ketiga. Bogor: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).
  2. Sipayung, Tungkot. 2015. Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan. Edisi pertama. Bogor: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).
  3. Sipayung, Tungkot dan Purba, Jan Horas V. 2015. Ekonomi Agribisnis Sawit. Cetakan pertama. Bogor: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).