Agribisnis sebagai cara baru melihat pertanian
Kuliah umum Bungaran Saragih di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor.

Anda ingin tahu agribisnis sebagai cara baru melihat pertanian? Tulisan ini yang tepat untuk Anda baca.

Materi dari Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., pakar agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), yang disampaikan pada Kuliah Umum di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 13 Nopember 2021.

Bungaran Saragih menyampaikan tema, Agribisnis 4.0 Menuju Pertanian Maju, Mandiri, dan Modern.

Dari materi yang diutarakan Bungaran Saragih, AGRIKAN.ID melihat empat subtema yang menarik untuk dipahami pembaca:

  1. Agribisnis sebagai cara baru melihat pertanian.
  2. Manfaat cara baru melihat pertanian.
  3. Kelemahan cara lama melihat pertanian.
  4. Pengembangan agribisnis 4.0 di Indonesia.

Agribisnis sebagai cara baru melihat pertanian

Seorang tetangga Bungaran Saragih di Ciheuleut, Bogor, memelihara domba. Sang tetangga menjual domba dengan harga di atas biaya dan tenaga yang sudah dikeluarkan agar memperoleh keuntungan.

Lumrah jika pemelihara domba memetik keuntungan. “Kalau tidak memperoleh keuntungan, dia memperkaya orang lain dan memiskinkan diri sendiri. Itu bukan bisnis,” kata Bungaran.

Selama memelihara domba, tetangga membeli atau mencari pakan. Untuk membawa dombanya ke pasar, tetangga itu memerlukan mobil sebagai alat transportasi.

Setelah domba dijual ke pasar, pembelinya mengolah domba itu menjadi sate. Kemudian pengolah sate menjual satenya kepada konsumen akhir. Tentunya pengolah sate juga memperoleh keuntungan.

Jadi, pertanian (dalam arti luas) itu bisnis atau agribisnis. “Bisnis itu jika konsumen bisa kita bikin puas dan kita mendapat keuntungan,” kata Ketua Dewan Redaksi Majalah AGRINA itu.

Sederhana. Tidak ruwet. Agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian sebagai sistem dan bisnis.

Sebagai sistem? Ya. Menyediakan pakan domba sebagai subsistem industri hulu. Memelihara domba sebagai subsistem pertanian.

Mengolah domba menjadi sate sebagai subsistem industri hilir (agroindustri). Memasarkan domba dan sate sebagai subsistem pemasaran. Mengangkut domba dengan transportasi sebagai subsistem jasa.

Jadi, “Kita melihat pertanian bukan sebagai sektor tetapi subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem agribisnis,” kata Bungaran.

Dengan agribisnis, kita melihat pertanian itu sebagai bisnis, bukan jalan hidup (way of life) atau tradisi.

Sebagai bisnis, berarti pertanian itu memproduksi barang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasar. “Dalam bisnis, konsumen itu penting. Kita suka ditanya siapa konsumen Anda. Konsumen itu yang mau dilayani dan dari konsumen kita dapat imbalan. Kita tunduk kepada aturan pasar,” kata Bungaran.

Jadi, dengan agribisnis, banyak hal baru. Tapi secara pokok ada dua hal yang baru dalam melihat pertanian. Pertama, pertanian itu adalah bisnis. Kedua, agribisnis itu menggunakan pendekatan sistem.

Karena sebagai bisnis dan sistem agribisnis, Bungaran menggunakan istilah sistem dan usaha agribisnis.

Manfaat cara baru melihat pertanian

Barang dihasilkan dari subsistem pertanian. Tetapi ia mendapatkan input dari subsistem industri hulu.

Barang yang dihasilkan diolah di industri hilir. Barang segar atau olahan tadi dipasarkan melalui subsistem pemasaran. Kemudian keempat subsistem itu didukung subsistem jasa penunjang.

Dengan demikian, subsistem pertanian itu merupakan subsistem inti, penghasil barang. Sebab, tidak  ada industri hulu, hilir, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian jika tidak ada subsistem pertanian.

Tetapi ada yang mengelompokkan pemasaran itu ke dalam industri hilir. AGRIKAN.ID berpendapat, dari beberapa artikel Bungaran Saragih, subsistem pemasaran itu tersendiri, bukan bagian dari industri hilir.

Lantas apa manfaat cara baru melihat pertanian? Dengan agribisnis, kita mengembangkan pertanian sebagai subsistem inti itu bersinergi dengan industri hulu, industri hilir, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian.

Di dalam subsistem pertanian sendiri terdapat subsistem komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Manfaat gribisnis, cara baru melihat pertanian
Lima subsistem dari sistem dan usaha agribisnis

Setiap subsistem komoditas itu mempunyai industri hulu, industri hilir, pemasaran, dan jasa penunjang.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, kontribusi subsistem pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 70%. Pada tahun 2020, kontribusinya terhadap PDB sekitar 15%.

Tetapi karena statistik kita masih mengikuti pendekatan sektor, maka belum tersedia statistik kontribusi industri hulu, industri hilir, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian terhadap PDB Indonesia.

Meski demikian, pada tahun 2000-an, murid-murid Bungaran Saragih pernah menghitung bahwa kontribusi agribisnis terhdap PDB Indonesia sekitar 45%.

Dengan menggunakan data tersebut, diperkirakan kontribusi industri hulu, hilir, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian terhadap PDB Indonesia sekitar 30%, yaitu 45% dikurangi 15%.

Di Amerika Serikat (AS), data pendekatan sektor dan agribisnis tersedia. Menurut Bungaran, kontribusi subsistem pertanian terhadap PDB AS sekitar 2%, tetapi kontribusi agribisnis terhadap PDB sekitar 25%.

Dengan menerapkan sistem dan usaha agribisnis, pembangunan pertanian di AS dilakukan bersinergi antara subsistem pertanian, industri hulu, industri hilir, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian.

Kelemahan cara lama melihat pertanian

Sehabis Perang Dunia Kedua, pembangunan ekonomi itu dilihat dari tiga sektor, yaitu pertanian, industri, dan jasa.

Pada saat perekonomian berkembang, kontribusi pertanian terhadap PDB menurun, sedangkan industri dan jasa meningkat. “Karena pertanian semakin kecil, maka tidak perlu diperhatikan lagi. Perhatikan (saja) industri dan jasa. Itulah cara berpikir lama yang terkotak-kotak,” kata Bungaran.

Pada awal kemerdekaan, kontribusi pertanian terhadap PDB Indonesia sekitar 70%. Karena itulah pertanian sangat diperhatikan, misalnya Presiden Soekarno mendirikan IPB.

Sekarang kontribusi pertanian terhadap PDB sekitar 15%. “Akhirnya nggak diurus pertanian juga nggak apa-apa. Kalau perlu kita impor. Itulah payahnya berpikir secara sektoral seperti itu,” tutur Bungaran.

Orang pertanian mengakui industri hilir, hulu, pemasaran, dan jasa semakin besar. Tetapi industri hulu, hilir, pemasaran, dan jasa pertanian tidak ada jika tidak ada pertanian. Jadi, “Intinya pertanian,” katanya.

Misalnya minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) yang diolah dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. CPO tidak lagi dicatatkan pada pertanian tapi industri. Yang dicatatkan pada pertanian itu TBS.

Dengan cara berpikir membangun sistem dan usaha agribisnis, maka kita tidak mengerdilkan pertanian. Tetapi, “Kita melihat pertanian sebagai sumber pertumbuhan perekonomian Indonesia,” kata Bungaran.

Dengan sistem dan usaha agribisnis, kita mengubah cara berpikir (paradigma) dari pendekatan sektoral ke intersektoral. Karena sebagai sistem, pertanian tidak berdiri sendiri tapi bagian dari sistem agribisnis.

Coba perhatikan krisis tahun 1998, 2008, 2020, dan 2021 ini. Pertanian memang terganggu tetapi tidak banyak. Hal itu menunjukkan pertanian (subsistem pertanian) merupakan keunggulan Indonesia.

Kelemahan cara lama adalah pertanian kurang disinergikan dengan industri, pemasaran, dan jasa. Dibuat terkotak-kotak. Yang industri, pemasaran, dan jasa jalan sendiri, kurang peduli terhadap pertanian. “Akhirnya pertanian jalan sendiri, tersendat-sendat. Dicaci maki, begitu,” kata Bungaran.

Yang bagus itu adalah menerapkan sistem dan usaha agribisnis. “Pendekatan kita bukan sektoral tetapi intersektoral. Bukan hanya untuk kepentingan pertanian tetapi ekonomi secara keseluruhan,” katanya.

Pengembangan agribisnis 4.0 di Indonesia

Pada dasarnya, revolusi industri 0.0, industri 1.0, industri 2.0, industri 3.0, dan industri 4.0 merupakan perubahan teknologi produksi barang dan jasa.

Pada waktu industri 0.0, sebenarnya pertanian tidak ada industri. Pada pertanian 1.0, industri belum bergerak. Pada pertanian 2.0, pertanian sudah mulai mendorong industri 2.0.

Tetapi pada pertanian 3.0, pertanian ditarik industri 3.0. Pada saat pertanian 4.0, pertanian benar-benar ditarik industri 4.0.

Jadi, agribisnis 4.0 adalah pertanian 4.0 yang bersama-sama dengan industri hulu 4.0, industri hilir 4.0, pemasaran 4.0, dan jasa penunjang pertanian 4.0.

Era 3.0 terjadi mulai 1980-an hingga 2000-an yang ditandai dengan kehadiran teknologi komputer, komunikasi, otomatisasi, dan mekanisasi pada pertanian 3.0, industri 3.0, pemasaran 3.0, dan jasa 3.0.

Sekarang memasuki industri 4.0 yang ditandai dengan kehadiran robotik, artificial intelligence, data besar, nanoteknologi, bioteknologi, internet of things (IoT), teknologi tanpa kabel 5G, dan sebagainya.

Ada yang mengatakan bahwa nantinya teknologi informasi yang memimpin paradigma pembangunan.

“Kalau saya tidak begitu. Digitalisasi dalam bentuk internet of things, sensor, artificial intelligence, drone dan lain-lain bukan tujuan, (tetapi) alat yang diaplikasikan di bidang agribisnis,” kata Bungaran.

“Teknologi sangat penting, tetapi bukan tujuan. Tujuannya menghasilkan barang-barang dan jasa untuk kesejahteraan petani dan lainnya,” tambahnya.

Tentu pertimbangannya ekonomi. “Kalau pertimbangannya menguntungkan di situlah agribisnis 4.0,” katanya. Dengan agribisnis 4.0 yang menguntungkan, diharapkan pertanian maju, mandiri, dan modern.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com

Referensi:

  1. Kuliah Umum Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. di Polbangtan Bogor, Sabtu, 13 Nopember 2021.
  2. Saragih, Bungaran. 2020. Suara Agribisnis 3: Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta: PT Permata Wacana Lestari.
  3. Sipayung, Tungkot dan Purba, Jan Horas V. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor: Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
  4. Saragih, Bungaran. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: PT Penerbit IPB Press.