Kedelai lokal bagus untuk pembuatan tahu
Kedelai varietas Dega 1. Ukuran biji keringnya lebih besar dari kedelai impor. Sumber: litbang.pertanian.go.id.

Konsumsi kedelai di Indonesia dalam bentuk tempe sekitar 50%, tahu 40%, dan produk lain seperti tauco, kecap, susu kedelai, dan lain-lain 10%.

Setiap tahun, kebutuhan kedelai di Indonesia sekitar 3 juta ton. Yang bersumber dari produksi di dalam negeri sekitar 0,5 juta ton dan impor 2,5 juta ton.

Tetapi, gegara inflasi di Amerika Serikat dan perubahan iklim La Nina di Amerika Latin sehingga produksi kedelai di Brazil turun sekitar 8%, memicu kenaikan harga kedelai global.

Harga kedelai global pada pekan kedua Februari 2022 sekitar US$15,77/bushel (gantang) atau meningkat 18,9% dibanding Januari 2022. Satu gantang sekitar 27,2 kg atau 0,0272 ton.

Akibatnya, menurut Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, harga kedelai di tingkat perajin tahu tempe di Indonesia sekitar Rp11.631/kg. Padahal, biasanya sekitar Rp9.000-10.000/kg.

Tetapi tunggu dulu. Kenaikan harga kedelai impor itu justru membuat petani kedelai lokal bergembira.

Biasanya harga kedelai lokal sekitar Rp6.500/kg, Februari ini harganya di tingkat petani sekitar Rp9.000/kg.

Secara karakteristik, kedelai lokal ini bagus untuk pembuatan tahu. Rendemennya tinggi dan rasa tahunya lebih enak. Umumnya, tahu sumedang menggunakan kedelai lokal.

Tetapi kedelai lokal ini kurang bagus untuk pembuatan tempe. Ukuran bijinya kecil, kulit arinya sulit terkelupas saat pencucian, dan peragiannya lebih lama.

Untuk pembuatan tempe, kedelai impor lebih bagus dari kedelai lokal. Karena itulah, kedelai impor ini cocok untuk segmen pembuatan tempe dan juga tahu.

Jadi, pemerintah perlu mendorong produksi kedelai di dalam negeri dengan pendekatan segmentasi sesuai dengan kebutuhan industri pengolahan.

Untuk memproduksi tahu, kecap, tauco, dan minyak kedelai, sebaiknya menggunakan kedelai lokal.

Tetapi untuk memproduksi tempe sebaiknya kedelai impor, yang kebanyakan kedelai transgenik. Sebab tempenya jauh lebih bagus.

Cara berpikir petani itu sederhana. Jika menanam kedelai itu menguntungkan, termasuk kedelai transgenik, hampir dipastikan petani akan beralih menanam tanaman subtropis itu.

Enam varietas unggul kedelai lokal

Enam varietas unggul kedelai lokal yang disarankan Kementerian Pertanian untuk ditanam petani adalah Detap 1, Dega 1, Dena 1, Dering 1, Anjasmoro, dan Grobogan.

  • Detap 1: umur berbunga 35 hari, umur panen 78 hari, bobot 100 biji 15,37 gram, hasil biji kering (produktivitas) 2,70 ton/ha, dan warna kulit biji kuning.
  • Dega 1: umur berbunga 29 hari, umur panen 71 hari, bobot 100 biji 22,98 gram, hasil biji kering (produktivitas) 2,78 ton/ha, dan warna kulit biji kuning.
  • Dena 1: umur berbunga 33 hari, umur panen 78 hari, bobot 100 biji 14,3 gram, hasil biji kering (produktivitas) 1,69 ton/ha, dan warna kulit biji kuning.
  • Dering 1: umur berbunga 35 hari, umur panen 81 hari, bobot 100 biji 10,7 gram, hasil biji kering (produktivitas) 2,8 ton/ha, dan warna biji kuning.
  • Anjasmoro: umur berbunga 35,7-39,4 hari, umur panen 82,5-92,5 hari, bobot 100 biji 14,8 gram, hasil biji kering (produktivitas) 2,0 ton/ha, dan warna kulit biji kuning.
  • Grobogan: umur berbunga 30-32 hari, umur panen 75 hari, bobot 100 biji 18 gram, hasil biji kering (produktivitas) 2,8 ton/ha, dan warna kulit biji kuning.

Bandingkan dengan ukuran biji kedelai impor, yang berkisar 16-17 gram/100 biji. Ukuran biji kedelai Dega 1 dan Grobogan lebih besar dari kedelai impor.

Sementara ukuran biji kedelai Detap 1, Dena 1, Dering 1, dan Anjasmoro lebih kecil dari biji kedelai impor.

Tetapi, pada umumnya, ukuran biji kedelai lokal rata-rata 15 gram/100 biji kering. Karena itulah dari segi perajin tahun tempe, ukuran biji kedelai lokal dipersepsikan lebih kecil dari ukuran kedelai impor.

Sementara itu, di mata petani, produktivitas kedelai lokal rata-rata 1,3 ton/ha/siklus produksi 2-3 bulan.

Bandingkan dengan produktivitas kedelai impor yang sekitar 3 ton/ha/siklus produksi sekitar 6 bulan.

Menanam kedelai transgenik

Pada tahun 2020, menurut International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Appliactions (ISAAA), dari total luas lahan kedelai global yang 123,5 juta ha, sekitar 78% ditanam dengan kedelai transgenik.

Hanya sekitar 22% kedelai global yang ditanam dengan benih kedelai konvensional, yang bukan benih transgenik atau biotek.

Melihat kondisi di atas, bisa dipahami jika Indonesia banyak mengimpor kedelai transgenik.

Sebab mayoritas kedelai yang diproduksi di dunia, yang totalnya sekitar 383 juta ton/tahun, adalah kedelai transgenik.

Lantas, mengapa pemerintah belum juga mengizinkan petani menanam kedelai transgenik di Indonesia?

Sebab, dengan mengimpor kedelai transgenik berarti nilai tambahnya dinikmati petani di luar negeri.

Mengapa Indonesia tidak mengimpor benih kedelai transgenik untuk ditanam petani di dalam negeri?

Sebab, dari segi biaya produksi kedelai, kontribusi biaya benih menurut sebuah sumber sekitar 7-10% dari total biaya produksi kedelai di Indonesia. Biaya produksi kedelai di Indonesia sekitar Rp 6.000/kg.

Dengan menanam kedelai transgenik di Indonesia, nilai tambahnya akan dinikmati petani di dalam negeri, bukan petani di luar negeri.

Untuk komoditas tanaman pangan, memang sampai sekarang pemerintah belum mengizinkan petani menanam padi, jagung, atau kedelai transgenik.

Yang baru diizinkan pemerintah Indonesia adalah menanam tebu transgenik NXI-4T, buah karya PT Perkebunan Nusantara XI bekerjasama dengan Universitas Jember dan Ajinomoto.

Perlu diketahui, jika peningkatan produksi kedelai dengan pendekatan segementasi di Indonesia kurang dilakukan, maka akan terjadi penyakit kambuhan. Harga kedelai cenderung tinggi.

Sebab, harga kedelai di dalam negeri tergantung harga kedelai global karena Indonesia banyak impor.

Ada kecenderungan harga kedelai global akan terus meningkat sesuai dengan pasokan dan permintaan.

Karena itu, bagaimana kita meningkatkan pasokan produksi kedelai di dalam negeri, agar petani kedelai bergembira dan perajin tahu tempe juga bahagia.

“Kami sejak 10 tahun yang lalu ingin menanam tanaman pangan transgenik, tetapi belum ada keputusan dari pemerintah,” kata seorang petani.

Syatrya Utama | Email: syatrya_utama@yahoo.com