telur ayam halau stunting dan sarkopenia
Ilustrasi telur ayam rebus.

AGRIKAN.ID – Dalam tataran masyarakat awam, telur termasuk jenis makanan yang penuh kontroversi. Selain dapat menimbulkan reaksi alergi bagi individu tertentu, kandungan kolesterolnya yang cukup tinggi kerap kali dijadikan titik sentral kontroversi.

Walaupun pedoman diet baru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian Amerika Serikat sejak tahun 2015 telah menghapus batas maksimal konsumsi kolesterol dalam menu (diet) harian, serta perlunya penegasan kembali bahwa konsumsi telur tidak perlu lagi dibatasi (health.gov/dietaryguidelines/2015), namun kontroversi terhadap telur masih terus mengakar.

Telur ayam dan protein berkualitas tinggi

Telur ayam banyak mengandung unsur bioaktif, yaitu lutein, zeaxanthin, kolin, riboflavin, asam folat, vitamin A, vitamin D, zat besi, dan selenium, yang sangat penting untuk melawan penyakit-penyakit kronis (Fernandez, 2010).

Telur juga mengandung protein berkualitas tinggi. Semua asam amino penting (essential amino acids) terkandung di dalamnya. Telur juga diakui sebagai makanan bernilai biologis tinggi bagi umat manusia (Dubin et al., 1994; Kovas-Nolan et al., 2005).

Lihat juga: Konsumsi telur agar tubuh kuat

Menurut data USDA National Nutrient Database 2018, setiap butir telur ayam dengan berat rata-rata sekitar 65 gram mengandung 6,3 gram protein dengan distribusi 3,6 gram dalam putih telur (albumin) dan 2,7 gram dalam kuning telur (Fernandez et al., 2015).

Komposisi dan fungsi protein bioaktif (bioactive proteins) dalam putih telur dan kuning telur sangat variatif jika dikaitkan dengan aktivitas biologis dan antimikrobanya (Fernandez et al., 2015).

Sebagai contoh, dalam putih telur terdapat ovotransferrin yang berikatan dengan ion metal, ovomucin yang mempunyai sifat sebagai antiviral, dan lisosim (lysozyme) yang mampu merusak dinding sel bakteri Gram positif (Fernandez, 2010).

Kejadian alergi telur

Namun terkait kejadian alergi telur pada anak-anak (Rona et al., 2007), realitanya lebih disebabkan oleh jenis protein tertentu dalam putih telur yang ditanggapi sistem imunitas tubuh sebagai protein asing, bukan oleh molekul atau senyawa bersifat toksik atau beracun (Réhault-Godbert et al., 2019).

Di lain pihak, di dalam kuning telur ditemukan lipovitellin yang mewakili subfraksi HDL (High Density Lipoprotein) alias kolesterol baik dan phosvitin yang berfungsi mencegah oksidasi lemak dengan mengikat ion-ion logam berat (Dubin et al., 1994).

Yang jelas, menurut National Academy of Sciences (NAS) Amerika Serikat, sebutir telur ayam ras yang besar mengandung kira-kira 215 mg kolesterol atau setara duapertiga dari total kebutuhan kolesterol manusia dewasa per hari, yaitu sekitar 300 mg.

Lihat juga: Rutin makan telur kekebalan tubuh kuat

Majalah Circulation yang diterbitkan American Heart Association, dalam edisi ketiga volume 102 tahun 2000, memublikasikan bahwa kolesterol dalam diet (makanan) bukanlah suatu faktor utama yang menentukan kadar kolesterol darah.

Laporan penelitian tersebut sebenarnya memperkuat hasil penelitian ilmiah intensif lebih dari 10 tahun yang dilakukan American Council on Science and Health (ACSH) dan dipublikasi 1996 yang membuktikan bahwa jenis dan jumlah lemak dalam diet lebih berkorelasi erat memengaruhi kadar kolesterol darah, bukan kadar kolesterol dalam diet.

Pada penelitian lain, kadar LDL (Low Density Lipoprotein) atau kolesterol jahat dalam darah sudah terbukti secara ilmiah disebabkan karena konsumsi lemak jenuh berlebihan (Gray & Griffin, 2009; Kanter et al., 2012).

Sebutir telur, walaupun mengandung kolesterol relatif tinggi, hanya memenuhi 1,7 % kebutuhan lemak jenuh pada manusia dewasa (J Am Coll Nutr 2000; 19: 495S-498S).

Kecernaan protein telur

Telur adalah sumber protein yang baik dan berkualitas dengan kecernaan 97%, dibandingkan dengan kecernaan protein susu atau keju 95% atau daging dan ikan 94% (WHO, 2007).

Telur juga sumber asam amino esensial, terutama asam amino leucine yang sangat penting dalam sintesis protein otot (Layman & Rodriguez, 2009).

Perlu juga diingat bahwa kualitas protein dalam bahan makanan tertentu dinilai berdasarkan protein digestibility corrected amino acid score (PDCAAS).

Makin tinggi skor PDCAAS makin baik suatu protein memenuhi kebutuhan keseluruhan asam amino esensial yang pada dasarnya berkorelasi erat dengan jumlah serta kecernaan protein bersangkutan (Tome, 2012).

Sebagai contoh, untuk anak-anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun, nilai PDCAAS telur ayam adalah 118%; dibandingkan hanya 92-94% untuk daging atau ikan, 90-93% untuk kacang kedelai, dan 35-57% untuk biji-bijian termasuk beras, gandum serta jagung (Tome, 2012).

Protein telur adalah protein termurah dibandingkan dengan protein dari sumber mana pun, tersedia cukup berlimpah serta cocok untuk semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah (Drewnowski, 2010).

Lihat juga: Telur sumber protein terbaik keluarga

Namun, dilain pihak, putih telur (albumin) ternyata juga mengandung enzim penghambat kinerja enzim pemecah rantai protein (protease inhibitors) yang dapat mereduksi kecernaan asam amino.

Meski begitu, hal tersebut mudah diatasi dengan pemanasan, yaitu proses masak yang juga mempertimbangkan keberadaan unsur-unsur nutrisi lainnya (Stanciuc et al., 2018).

Kolin (choline) merupakan suatu substansi nutrisi yang sangat penting bagi perkembangan fungsi kognitif (kesadaran dan pengertian) dari jaringan otak (Hasler, 2000).

Kolin juga ditemukan dalam susu, hati, dan kacang-kacangan. Secara alamiah, tubuh manusia mampu membentuk kolin sendiri, namun jumlahnya tidak mencukupi.

Menurut National Academy of Sciences (NAS) Amerika Serikat, seorang laki-laki dewasa membutuhkan asupan kolin sebanyak 550 mg/hari, sedangkan wanita dewasa sebanyak 425 mg/hari.

Padahal, sebutir telur ayam mengandung paling tidak 280 mg kolin. Ini berarti, telur mampu memenuhi lebih dari separuh kebutuhan kolin baik pada laki-laki maupun wanita dewasa.

Malnutrisi dan stunting

Pola konsumsi telur penduduk antarnegara atau benua sangatlah bervariasi. Sebagai contoh, anak-anak di negara-negara Amerika Latin rata-rata mengonsumsi telur dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan anak-anak di negara-negara Asia dan Afrika (Iannotti et al., 2014).

Di Nepal, selama kehamilan, wanita dilarang mengonsumsi telur dengan alasan utama kepercayaan atau agama (Pachón et al., 2007).

Namun sebaliknya, di Ethiopia, telur diyakini sebagai sumber makanan penting bagi anak-anak untuk perkembangan fisik dan mental (Alive dan Thrive, 2010).

Lihat juga: Keunggulan telur ayam Omega 3

Anak-anak, khususnya usia balita (bawah lima tahun), pada negara-negara berkembang umumnya tidak diintroduksi dengan telur atau makanan yang kaya mengandung protein pada usia sedini mungkin.

Hal tersebut tentu saja secara spesifik akan menciptakan kondisi kwashiorkor atau kekurangan maupun ketiadaan asupan protein yang cukup alias malnutrisi protein yang ujung-ujungnya dapat menimbulkan gangguan kecerdasan (daya kognitif) dan atau pertumbuhan alias kekerdilan atau stunting (Jinadu et al., 1986).

Telur dan masa pertumbuhan

Dalam beberapa penelitian, di Malawi, konsumsi telur secara rutin pasca sapih pada anak balita dapat mereduksi kasus kwashiorkor secara signifikan (Sullivan et al., 2006).

Konsumsi telur selama masa menyusui (laktasi) juga dapat meningkatkan komposisi nutrisi air susu ibu yang selanjutnya dapat mendukung pertumbuhan bayi selama masa menyusui (Lutter et al., 2018).

Yang menarik adalah peningkatan pertumbuhan fisik yang signifikan melalui suplementasi telur pada penelitian terhadap anak-anak balita di Cina (Cao et al., 2013).

Lihat juga: Cara pintar pilih telur konsumsi

Suplementasi telur pada ibu selama laktasi dan balita lepas sapih ternyata dapat memperbaiki tingkat pertumbuhan serta mereduksi kasus anemia dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menerima edukasi suplementasi telur di Provinsi Sichuan Cina (Guldan et al., 2000).

Lebih lanjut, Lananotti et al., 2017, melaporkan bahwa prevalensi stunting menurun sampai 47% dan pertumbuhan di bawah standar terkoreksi sebanyak 74% pada anak-anak balita (bawah lima tahun) di Ekuador yang mendapat asupan satu butir telur selama 6 bulan dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan tambahan asupan telur.

Di Indonesia sendiri, suatu laporan penelitian di Jawa Tengah dengan kampanye makan telur dan sayuran hijau yang banyak telah meningkatkan konsentrasi vitamin A dan retinol plasma secara signifikan (De Pee et al., 1998).

Mengenal sarkopenia

Terminologi sarkopenia (sarcopenia) berasal dari bahasa Yunani yaitu “sarx” artinya otot dan “penia” artinya kehilangan.

Sarkopenia diintroduksi pertama kali oleh Rosenberg untuk menjelaskan fenomena berkurangnya massa otot kerangka yang terkait dengan makin bertambahnya umur, terutama pada manula (manusia lanjut usia) yang berusia lima dekade ke atas (Gupta, 2018).

Namun, sarkopenia juga dapat terjadi dengan kecepatan 3-5% per dekade bagi individu usia produktif, jika asupan protein rendah dan aktivitas fisiknya minimal atau kurangnya olahraga (Smith & Gray, 2016; Gupta, 2018; Bellelli, 2022).

Lihat juga: Cara bedakan telur baru dan lama

Sarkopenia merupakan masalah kesehatan yang cukup penting bagi umat manusia, khususnya bagi individu usia lanjut. Akan tetapi, proses terjadinya sarkopenia sebenarnya dapat dimulai sejak usia 30 tahun (Waters et al., 2012), tergantung kualitas hidup dan makanan.

The European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP) pada tahun 2010, mendefinisikan sarkopenia sebagai suatu sindroma yang terjadi secara progresif dan menyeluruh yang ditandai dengan berkurangnya massa (aspek kuantitas) dan kekuatan (aspek kualitas) otot kerangka serta diikuti dengan kondisi yang buruk seperti munculnya cacat fisik atau buruknya kualitas hidup, hilangnya kemandirian dan bahkan kematian (Cruz-Jentoft et al., 2014).

Sarkopenia dan osteoporosis

Walaupun sarkopenia merupakan bagian dari proses penuaan alami yang terjadi secara bertahap antara usia 30-60 tahun (Waters et al., 2012), akan tetapi banyak faktor yang dapat memengaruhi kecepatan proses terbentuknya sarkopenia.

Faktor tersebut antara lain defisiensi vitamin D, asupan harian protein yang kurang (dari segi kuantitas maupun kualitas), kurangnya aktivitas fisik (olahraga) serta reaksi peradangan yang ringan tetapi kronis alias menahun (Millward, 2012; Deutz et al., 2014; Murton, 2015).

Massa otot kerangka yang berkurang pada kondisi sarkopenia disebabkan oleh sintesis protein otot yang jauh lebih kecil dari kecepatan degradasinya (Deutz et al., 2014).

Lihat juga: Telur tetas versus telur konsumsi

Sarkopenia dapat menjadi suatu predictor dari kematian dini atau munculnya problem ikutan (co-morbid), termasuk kehilangan kemampuan untuk melakukan hal-hal keseharian dalam hidup sehingga kehilangan kemandirian (independence) dan tereduksinya mobilitas (Morley et al., 2014).

Sarkopenia juga sering berkaitan dengan meningkatnya frekuensi risiko jatuh dan patah tulang jika disertai dengan kejadian osteoporosis (kerapuhan tulang) pada usia lanjut (Beaudart et al., 2014).

Yang juga menarik adalah penelitian yang dilakukan oleh Yeung dan kawan-kawan, ditemukannya kemungkinan korelasi timbal balik (vice versa) antara sarkopenia dan osteoporosis pada manula.

Sarkopenia pada penderita osteoporosis (osteosarcopenia) dapat memperbesar terjadinya risiko kasus patah tulang (fraktur), sebaliknya manula yang mengalami fraktur karena osteoporosis dapat mempercepat terjadinya sarkopenia (Yeung et al. 2019; Bellelli, 2022).

Pada penelitian terakhir, sarkopenia juga dapat menyebabkan risiko kesulitan menelan atau sering tersedak pada manula (Maeda dan Akaqi, 2016).

Protein telur dan sarkopenia

Kualitas protein yang dikonsumsi sangat menentukan pembentukan protein otot. Mengonsumsi protein hewani jauh lebih baik dari protein nabati.

Protein hewani, termasuk telur, mengandung asam amino yang lebih lengkap, tingkat kecernaan lebih tinggi, serta kandungan asam amino leucine yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati (FAO Sub-Committee Report on Protein Quality Evaluation, 2011; Vliet et al., 2016; Norton et al., 2017).

Suatu survei pada manula telah membuktikan bahwa berkurangnya asupan protein (protein intake) harian karena berkurangnya nafsu makan akan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya sarkopenia (Murton et al.,2015).

Lihat juga: Cara Aris Amirris bikin telur asin AA

Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) merekomendasikan asupan protein sebanyak 0,83 gram per kilogram bobot badan per hari untuk manusia dewasa (WHO, 2007).

Asupan paling tidak dua butir telur per hari tidak ada efek pada kadar kolesterol darah, sekalipun pada penderita hiperlipidemia alias kadar lemak darah yang tinggi (Njike et al., 2010).

Telur sejatinya mengandung protein berkualitas tinggi karena persentase kecernaannya tinggi dengan profil asam amino esensial yang lengkap, sehingga sangat cocok untuk mencegah malnutrisi pada masa pertumbuhan (stunting) dan sarkopenia pada manula (Smith & Gray, 2016).

Tony Unandar, Anggota Dewan Pakar Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI)

Catatan:

Artikel ini pernah dipublikasikan di Poultry Indonesia, Edisi Khusus Ildex Indonesia 2022. Kemudian Tony Unandar mempersilakan agar tulisan tersebut dimuat di AGRIKAN.ID.

Tetapi AGRIKAN.ID baru memuatnya pada Januari 2024 berkaitan dengan Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap 25 Januari. Informasi telur ayam ini tetap bermanfaat bagi masyarakat pembaca.

AGRIKAN.ID menyunting tulisan tersebut agar paragrafnya lebih ramping tanpa mengubah alurnya.